EKBIS.CO, YOGYAKARTA -- Menjaga investasi di Indonesia perlu dilakukan untuk perekonomian Indonesia. Berbagai pembangunan infrastruktur pun dilakukan pemerintah guna mendatangkan para investor.
Namun, hal ini disayangkan Peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Riyanto karena terjadinya beberapa kasus hukum dengan perusahaan. Menurutnya, investor bukan hanya membutuhkan infrastruktur yang mendukung tapi juga adanya kepastian hukum.
"Aturan yang jelas mendatangkan kepercayaan dan berdampak pada hadirnya investor-investor," ujarnya dalam diskusi media di Hotel Grand Mercure Yogyakarta tengah pekan ini.
Kepastian hukum menjadi satu perhatian besar Riyanto setelah penetapan aturan baru pemerintah terkait tata kelola gambut. Terbitnya Peraturan Pemerntah (PP) Nomor 71/2014 jo PP Nomor 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut mencerminkan tidak adanya inovasi kelembagaan dalam pengelolaan lahan gambut.
PP tersebut akan memukul industri pulp dan kertas karena lebih dari 40 persen luas lahan Hutan Tanaman Industri (HTI), bahan baku industri pulp dan kertas berada di lahan gambut harus dikonversi menjadi fungsi lindung.
Aturan tersebut diaku Riyanto bukan hanya berpengaruh negatif terhadap iklim investasi di berbagai daerah tapi juga membuat investor yang telah dan akan berinvestasi menarik diri.
Menurutnya, pemerintah seharusnya menerapkan inovasi kelembagaan dengan pemberian sistem insentif guna menyadarkan perusahaan-perusahaan yang bergerak di HTI maupun sawit.
Insentif bisa diberikan bagi mereka yang mengelola gambut dengan baik, dengan teknologi ramah lingkungan dan berkelanjutan. Insentif yang diberikan bisa berupa pembebasan pajak.
"Kan lumayan tuh perusahaan terangsang," ujarnya.
Mengapa pajak, ia melanjutan, karena investasi penerapan teknologi ramah lingkungan memakan biaya besar. Insentif pembebasan pajak bisa untuk Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pemberian insentif ini bisa dikaji lebih lanjut untuk mengetahui berapa persen pembebasan bisa diberikan.
"Kalau itu diterapkan, itu namanya inovasi kelembagaan di gambut," kata dia.
Dengan pemberian insentif tersebut, diakuinya perusahaan HTI akan mengelola lahan gambut dengan cara yang baik dan tidak memberatkan. Tidak seperi penerapan pengelolaan gambut saat ini yang dilakukan dengan tindakan pinalti.
Namun, jika perusahaan tidak bisa mengelola lahan dengan baik dan menjaga lahannya dari kebakaran maka tindakan tegas bisa dilakukan pemerintah misalnya dengan pencabutan izin. Ia optimis perusahaan akan melakukan usaha besar agar lahan yang dikelolanya tidak terbakar.
"Jadi perusahaan akan mati-matian agar tidak terbakar, effortnya akan luar biasa," ujarnya.
Solusi ini bisa dinilai menguntungkan pemerintah maupun investor. Rencana Kerja Usaha (RKU) pun akan tetap dibuat dengan izin investasi yang dimiliki. Lagipula, menurutnya, RKU setelah adanya pemberian izin masih sah hingga batas waktu izin tersebut habis.
Tak Sepadan
Riyanto menambahkan, dengan peta gambut skala 1:250.000 yang digunakan saat ini, akan ada 1,1 juta hektare HTI terdampak ketentuan air permukaan tanah 0,4 meter.
"Itu pasti kena semua itu yang di atas lahan gambut. Termasuk juga satu juta hektare di sawit," ujarnya.
Angka tersebut dinilai merugikan bila dibandingkan risiko kebakarann sebesar Rp 200 triliun menurut Bank Dunia. Namun ia menjelaskan jika kebekaran tersebut merupakan risiko yang tidak harus pasti terjadi.
"Ada probability nya. Kalau bisa dimanajemen risikonya, peluang kebakarannya kecil," kata dia.
Ia mencontohkan probability kebakaran sebesar 10 persen. Itu artinya Rp 200 triliun perlu dikali itu dikali 0,1 sebagai peluang, yang artinya kerugian hanya Rp 20 triliun. Sementara nilai HTI yang hilang Rp 76 triliun.
"Belum nilai ekonomis secara keseluruhan dr industri pulp dan kertas sebesar Rp 191 triliun ditambah aspek sosial kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya," ujar dia.