EKBIS.CO, UNGARAN -- Sebanyak 1.617 pohon bonsai dari berbagai jenis, asal Jawa Tengah, diekspor ke Eropa, Selasa (19/12). Selain terbanyak yang pernah dilakukan, ini merupakan pengiriman tanaman bonsai ke luar negeri yang untuk kali pertama berbasis In Line Inspection atau inspeksi sebelum penerbitan sertifikat karantina.
Kepala Badan Karantina Pertanian, Ir Banun Harpini, mengatakan selama ini perdagangan internasional bonsai hanya dilakukan antarindividu pegiat atau penggemar bonsai saja.
Sehingga dalam pelaksanaannya tidak tercatat dalam data statistik sebagai komoditas ekspor, kendati Indonesia masuk jajaran tiga besar negara dengan komunitas bonsai terbesar dan berkualitas, selain Jepang dan China.
"Potensi ekspor tanaman bonsai Indonesia cukup besar dan bonsai Indonesia memiliki keunikan dan sangat diminati oleh negara- negara di Eropa," ujarnya, saat melakukan grand launching ekspor bonsai ini di Banaran, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang.
Ia juga menjelaskan, proses ekspor berbasis In Line Inspection ini memberikan jaminan keamanan tanaman bonsai sebagai komoditas yang bersertifikat karantina secara elektronik (e-Cert).
Selain itu juga menjadikan pohon bonsai bakal tercatat sebagai salah komoditas ekspor. Masuknya bonsai sebagai komoditas ekspor tentu berdampak pada meningkatnya nilai jual bonsai.
"Sehingga upaya ini akan memberikan manfaat yang besar bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pelaku seni bonsai, di Tanah Air, khususnya di Jawa Tengah," kata Banun.
Badan Karantina Pertanian, lanjutnya, terus berupaya mendukung peningkatan daya saing dan akses pasar internasional bagi komoditas ekspor Indonesia.
Antara lain melalui pemenuhan persyaratan sanitari dan fitosanitari (SPS Measures). Bahkan, saat ini kerjasama dengan negara mitra dagang telah menggunakan pertukaran Electronic services (E-Cert SPS).
Belanda merupakan negara pertama yang telah menerapkan pertukaran Electronic Phytosanitary Certificate (e-phyto) yang akan diikuti dengan Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat.
Kebijakan Badan Karantina Pertanian dalam pelayanan ekspor komoditas pertanian berorientasi pada penerapan sertifikasi fitosanitari yang efektif, efisien dan akseptabel.
"Sehingga dapat menekan tingkat ketidaksesuaian (non-compliance) oleh negara mitra dagang," katanya.
Kebijakan tersebut, dijabarkan melalui pendekatan kesisteman (in-line inspection) dalam pengelolaan risiko (approach control system on risk management).
Yakni dengan penerapan mitigasi terbawanya organisme pengganggu tumbuhan dan kontaminasi cemaran berbahaya sejak di sentra produksi (on-farm) sampai dengan pengiriman dengan melibatkan para pihak yang terkait.