EKBIS.CO,
Oleh Reynold Wijaya *)
Sejak Januari 2016, saat Modalku mulai beroperasi, financial technology (fintech), terutama dalam bentuk peer to peer (P2P) lending mengalami kemajuan pesat di Indonesia dan mulai dikenal masyarakat. Karena usia fintech yang masih “muda”, belum semua lapisan masyarakat mengenal dengan baik industri ini.
Akan tetapi, belakangan telah muncul berbagai persepsi mengenai fintech di Tanah Air. Salah satu persepsi yang mulai berkembang adalah bahwa ekosistem keuangan Indonesia harus siap terancam oleh keberadaan fintech, terutama dunia perbankan. Bahkan bank harus bersiap-siap digantikan fintech. Benarkah demikian?
Sebenarnya, fintech dan bank melayani target segmen yang berbeda. Pengguna fintech pun masih bergantung pada layanan perbankan seperti akun tabungan. Selain itu, kolaborasi antara bank dan fintech yang ada menunjukkan sinergi justru memperkuat bidang masing-masing serta membangun ekosistem keuangan makro yang lebih sehat dan inklusif.
Definisi fintech
Mari kita mulai dari awal. Apa sebenarnya fintech? Tahukah Anda bahwa bank pun menawarkan produk dan layanan fintech? Ya, bank menawarkan layanan fintech 2.0 yang didefinisikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga jasa keuangan yang sudah mendapatkan lisensi sebagai perusahaan keuangan yang berinovasi menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan akses pasarnya.
Anda pengguna kartu kredit, mesin anjungan tunai mandiri (ATM), atau digital banking? Berarti Anda pengguna fintech 2.0. //Fintech// yang saat ini menarik perhatian media dan masyarakat dikategorikan sebagai fintech 3.0, yaitu perusahaan yang memberikan layanan keuangan yang didukung teknologi terkini bagi konsumen.
Karena tergolong baru, biasanya perusahaan fintech 3.0 belum memiliki lisensi jasa keuangan. Namun, OJK sedang dalam proses mengatur regulasi fintech 3.0 di Indonesia. Fintech 3.0 banyak bergerak di bidang lending, payments, e-wallet, dan crowdfunding.
Mengenal P2P lending
Salah satu bentuk fintech 3.0 yang populer di Indonesia adalah P2P lending. Pendukung inklusi keuangan layanan P2P lending mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman melalui pasar digital. Modalku contohnya. Kami menghubungkan UMKM lokal yang berpotensi dengan pencari alternatif investasi melalui platform daring kami.
Dengan mendanai pinjaman UMKM, pemberi pinjaman Modalku mendapatkan alternatif investasi dengan tingkat pengembalian yang menarik. Di sisi lain, UMKM peminjam mendapatkan pinjaman modal usaha tanpa agunan dengan proses daring yang mudah dan cepat. Dengan status P2P lending yang bergerak di dunia pinjam-meminjam, apa yang membedakannya dengan pinjaman bank?
P2P lending hadir untuk memecahkan permasalahan the missing middle atau UMKM yang memiliki kapasitas berkembang namun kurang akses untuk pendanaan. Persoalan the missing middle ini terkait erat dengan masalah inklusi keuangan yang dihadapi banyak negara berkembang. Semakin banyak penduduk negara yang memiliki akses ke layanan finansial, maka inklusi keuangan nasional semakin sehat dan tinggi.
Salah satu dimensi inklusi keuangan adalah akses ke pinjaman. Menurut data OJK, terdapat kebutuhan kredit nasional sebesar Rp 1.700 triliun per tahun bagi UMKM Indonesia. Lembaga keuangan yang ada hanya dapat memenuhi Rp 700 triliun dari kebutuhan tersebut, sehingga ada kekurangan pendanaan sebesar Rp 1.000 trilliun bagi UMKM Indonesia setiap tahun.
Kurangnya akses kredit bagi UMKM lokal tak hanya merugikan industri usaha kecil, tetapi juga melemahkan ekonomi negara. Studi Oliver Wyman, salah satu firma konsultan manajemen finansial terbaik dunia dan Modalku menemukan, kurangnya akses terhadap pinjaman bagi UMKM Indonesia yang ingin berkembang menyebabkan kerugian sebesar 14 persen dari total PDB nasional pada 2015.
P2P lending dapat menjadi jembatan antara UMKM-UMKM yang tadinya belum dapat dijamah institusi keuangan yang ada dengan UMKM-UMKM yang sudah bankworthy, sehingga suatu hari mereka pun menjadi bankworthy. Dengan kata lain, P2P lending fokus kepada segmen UMKM yang creditworthy but not yet bankworthy atau UMKM yang layak kredit namun belum pas mendapatkan kredit bank. Dengan kata lain, target segmen sektor P2P lending dan pihak perbankan jelas berbeda.
Membedah struktur
Jika diperinci, terdapat dua aspek pembeda P2P lending dengan pinjaman bank. Pertama, suku bunga. Karena P2P lending menjamah segmen yang lebih berisiko dibandingkan bank dan juga menawarkan pinjaman tanpa agunan, suku bunga P2P lending secara natural akan lebih tinggi dibandingkan bank. Segmen yang sudah bankworthy pasti memilih pinjaman bank ketimbang platform P2P lending.
Kedua, jumlah pinjaman platform P2P lending hanya dapat memberikan maksimal Rp 2 miliar per pinjaman. Dan ini masuk akal. Contoh: apabila suatu pinjaman P2P lending bernilai puluhan atau ratusan miliar rupiah, maka harus ada ribuan atau mungkin puluhan ribu pemberi pinjaman yang ikut proses crowdfunding. Proses crowdfunding menjadi lama dan dapat menunda pencairan pinjaman.
Di sisi lain, industri perbankan menawarkan pinjaman dengan jumlah tinggi yang cocok bagi UMKM bankworthy dan korporasi. Target segmen yang berbeda menghasilkan struktur produk yang berbeda. Karena itu, industri P2P lending tidak berebutan "kue" dengan perbankan.
P2P lending hanya berusaha mengisi kekosongan pendanaan sebesar Rp 1.000 triliun yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia dengan memberikan pinjaman ke segmen UMKM creditworthy, bukan UMKM bankworthy. Data OJK juga menunjukkan bahwa sektor P2P lending Indonesia telah mendanai pinjaman sebesar Rp 1,6 triliun sampai saat ini atau masih sebagian kecil (0.16 persen) dari gap pendanaan yang ada sekarang.
Komplementer
Perkembangan P2P lending sesungguhnya menguntungkan industri perbankan. Kami mengambil studi kasus Cina. Laporan Oliver Wyman menunjukkan bahwa industri P2P lending dan perbankan di Cina berkembang bersama. Di antara 2011 dan 2015, saat P2P lending berkembang pesat, kredit perbankan negara tumbuh dua kali lipat di saat yang sama.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena semakin banyak nasabah P2P lending yang "lulus" dari tahap creditworthy ke tahap bankworthy. Sehingga otomatis perbankan akan tumbuh karena target pasar kredit mereka semakin besar.
Fintech P2P lending, pendeknya, dapat menjembatani pertumbuhan UMKM dan menyumbang ke kekuatan ekonomi nasional. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi adanya persaingan sengit antara perbankan dan P2P lending adalah salah.
Kedua industri ini justru komplementer bila mereka berkolaborasi. Bisnis model P2P lending membuka layanan keuangan bagi segmen yang berbeda dengan segmen perbankan. Semakin banyak segmen masyarakat yang memiliki akses ke layanan keuangan, maka inklusi keuangan dan ekonomi makro akan menjadi lebih sehat.
Sinergi P2P lending dan perbankan
Sektor P2P lending dan perbankan dapat mengambil contoh dari kerja sama korporasi dengan start up yang menguntungkan kedua belah pihak. Di Inggris Raya, contohnya, Royal Bank of Scotland (RBS) bekerja sama dengan platform Funding Circle.
Di Singapura, Funding Societies bekerja sama dengan DBS, di mana DBS akan mengarahkan UMKM yang tidak bisa dilayani bank ke fintech P2P lending Funding Societies dengan persetujuan UMKM tersebut. Funding Societies akan mengarahkan UMKM peminjam yang berhasil mendapatkan pinjaman dari layanan P2P lending ke DBS ketika UMKM peminjam telah menjadi bankworthy.
Sedangkan di Indonesia, Modalku telah bekerja sama dengan Bank Sinarmas. Bank Sinarmas ikut serta memberikan pembiayaan kepada wirausahawan UMKM melalui platform Modalku. Kami juga menghadirkan sistem kustodian, di mana Bank Sinarmas menjadi pemegang dana pemberi pinjaman. Karena ada pihak ketiga yang menampung dana, maka keamanan dan transparansi lebih terjamin.
Masa depan
Apakah ancaman terbesar bagi dunia perbankan? Sebenarnya, industri manapun memiliki ancaman yang sama. Mereka akan lengser apabila tidak terus -menerus melakukan inovasi. Siapa yang menyangka jenama sebesar Nokia dan Blackberry akhirnya sirna dari popularitas besar yang pernah diraih beberapa tahun yang lalu?
Dunia perbankan pun terus-menerus melakukan inovasi. Layanan fintech 2.0 seperti mesin ATM dan digital banking ada karena bank mengambil risiko untuk memadukan layanan keuangan dengan teknologi. Bagaimana dengan fintech 3.0? Seperti yang dijelaskan di atas, kolaborasi antara fintech 3.0 dan perbankan akan menguntungkan kedua pihak serta ekonomi makro. Bank dapat cepat melakukan inovasi, fintech 3.0 dapat memperbesar jangkauannya, dan inklusi keuangan terus meningkat.
Dalam sejarah keuangan pun pernah terjadi hal yang mirip. Saat bisnis multifinance mulai menjamur, mereka sering diposisikan sebagai rival bank. Namun, target segmen multifinance berbeda dengan pasar dunia perbankan. Multifinance lebih fokus ke consumer loans dan bank lebih fokus ke corporate loans. Akhirnya kedua pihak sering bekerja sama untuk melebarkan jangkauannya.
Tanpa inovasi ataupun kolaborasi, sistem keuangan akan berada pada status quo. Pertumbuhan ekonomi negara pun akan stagnan. Masalah inklusi keuangan tidak akan terselesaikan. Sebenarnya keberadaan fintech menjadi kesempatan untuk membangun masa depan keuangan yang lebih ideal dan inklusif. Namun tentunya, pihak fintech dan pihak perbankan perlu bekerja sama untuk membangun masa depan tersebut.
*) Co-Founder dan CEO Modalku