Dalam hal PT Dirgantara Indonesia (PT DI), Rizal Ramli, awalnya sewaktu masih bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di tahun 1998, korporasi ini masih merugi Rp 75 miliar dan hanya mencatatkan penjualan sebesar Rp 508 miliar.
Setelah masuk era Gus Dur, IPTN diubah namanya menjadi PT Dirgantara Indonesia seiring juga diubahnya paradigma dari industri yang bersifat biaya tinggi menjadi industri penerbangan yang kompetitif. Saat itu PT DI tidak lagi hanya memproduksi pesawat terbang atau helikopter, tetapi juga memproduksi suku cadang dan komponen untuk memasok kebutuhan industri pesawat terbang terkemuka di dunia (seperti: Boeing, Airbus, British Aerospace, dll).
Akibat dari kebijakan ini pada tahun 2001, PT DI berhasil mencatatkan penjualan sebesar Rp 1,4 triliun (nyaris 3 kali lipat dibandingkan dengan tahun 1998) dan keuntungan sebesar Rp 11 miliar.
Sayang sekali, setelah era Gus Dur kondisi PT DI kembali memburuk karena kesalahan strategi pemerintahan Megawati sehingga akibatnya harus memecat 6.600 karyawannya.
Adapun terhadap BUMN seperti PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Tim ekonomi Gus Dur sukses menyelamatkannya dari kebangkrutan. Tindakan ini dilakukan dengan bebrapa kebijakan:
1) Melakukan renegosiasi harga beli listrik dari swasta yang ketinggian (akibat KKN peninggalan Suharto) dari USD cents 7-9/kWh ke harga normalnya sekitar USD cents 3,5/kWh, sehingga beban utang pemerintah dan PLN turun dari USD 80 miliar ke USD 35 miliar.
2) Melakukan revaluasi aset sehingga aset PLN meningkat 4 kali lipat dari Rp 52 triliun ke Rp 202 triliun dan modal PLN yang awalnya minus (-) Rp 9,1 triliun bertambah menjadi Rp 119,4 triliun.
Salah satu strategi kebijakan yang dijalankan Tim ekonomi Gus Dur sehingga sukses mempercepat pertumbuhan ekonomi dari negatif (-) 3% ke positif (+) 4,9%, dengan sambil mengurangi utang pemerintah, dan mencapai indeks Gini Ratio terendah (0,31) sepanjang sejarah Indonesia adalah melalui program restrukturisasi korporasi milik negara maupun unit usaha swasta. Antara lain Bulog, PT DI, PT PLN, pada UKM & Usaha Tani, PT Telkom & PT Indosat, Bank BII, serta pada Sektor Properti.
Sektor Properti adalah entitas bisnis yang terkait dengan lebih dari 100 jenis industri (seperti: semen, genteng, besi baja, keramik, furnitur, kayu, cat, alat kelistrikan, dsb) dan menyerap sangat banyak tenaga kerja. Karena itu demi membangkitkan kembali sektor properti yang terpuruk pasca krisis, pada April 2001 tim ekonomi Gus Dur meluncurkan kebijakan restrukturisasi utang bagi para pengembang properti.
Kemudahan ini lebih diutamakan kepada para pengembang Rumah Sangat Sederhana (RSH). Akibat kebijakan ini nilai kapitalisasi bisnis sektor properti naik dari Rp 9,88 triliun (2001) menjadi Rp 12,99 triliun (2002) dan Rp 26,95 triliun (2003). Akhirnya menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di era pasca Gus Dur.
Akan halnya mengenai Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Usaha Tani, Dr Rizal Ramli mengungkapkan,
pada era Gus Dur jumlah UKM yang terbelit kredit macet di perbankan mencapai 14 ribu unit usaha. Tim ekonomi pada tahun 2000 meluncurkan kebijakan memotong utang pokok UKM dan bunganya sebesar 50% asalkan dibayar dengan tunai.
Kebijakan restrukturisasi utang UKM ini berkontribusi menambah keuntungan Bank Mandiri sebesar Rp 1 triliun pada tahun 2001. Restrukturisasi utang juga diperoleh pelaku usaha tani di era Gus Dur. Bila luas lahan yang dimiliki petani
kurang dari 0,5 Ha, petani mendapatkan potongan utang pokok sebesar 50%. Bila luas lahan 0,5-1 Ha, potongan utang pokok sebesar 35%. Bila luasa lahan lebih besar dari 1Ha, potongan utang pokok sebesar 25%.