EKBIS.CO, JAKARTA — Indonesia diharapkan tidak kehilangan momentum pertumbuhan ekonomi di 2018. Momentum ini muncul setidaknya karena perekonomian global sedang menguat dan adanya Pilkada Serentak di 171 kabupaten/kota maupun provinsi.
“Setidaknya ada dua momentum yaitu perekonomian global yang menguat, serta pilkada serentak yang berpotensi menguatkan daya beli dan konsumsi rumah tangga, terutama di daerah,” kata ekonom, Dradjad Wibowo, Selasa (9/1).
Dijelaskannya, dilihat dari sisi global, akhir-akhir ini pertumbuhan ekonomi Indonesia berjalan di tempat. Pada tahun 2014 hanya 5,01%, turun ke 4,88% (2015), lalu kembali ke 5,02% (2016). Tahun 2017, pertumbuhan terlihat tetap stagnan sekitar 5,00-5,05%.
Kondisi ini, menurut Dradjad memprihatinkan, karena ekonomi dunia sebenarnya sedang sangat positif. Zona Euro yang selama ini “sakit” misalnya, pada tahun 2017 tumbuh 2,6% yoy, tertinggi sejak Q1/2011. Purchasing Managers’ Index (PMI) Zona Euro mencapai 60,6, atau tertinggi sejak adanya PMI mulai Juni 1997.
Negara tetangga seperti Singapura tumbuh melejit ke 3,5%, atau hampir dua kali lipat dari perkiraan awal tahun! Bahkan pada kuartal 3/2017 ekonomi Singapura tumbuh 5,2%! Jarang-jarang Singapura bisa seperti ini. Perkiraan pertumbuhan global juga terus direvisi ke atas, terakhir sekitar 3,2%.
"Tren perdagangan global sedang sangat positif. Ini terlihat dari the Baltic Dry Index yang melonjak dari 900 pada awal 2017 menjadi 1400 pada akhir 2017, ” papar anggota Dewan Kehormatan PAN tersebut.
Harga komoditi juga naik pesat. Kata Dradjad, Bloomberg Commodity Spot Index (BCOMSP) saat ini berada pada level 358,4, tertinggi sejak 2016. BCOMSP adalah Indeks harga spot dari komoditas dunia. Selama 2017 BCOMSP naik 7,43%.
Bagi Indonesia, BCOMSP merupakan indikator penting. Karena, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat dipengaruhi oleh ekspor dan harga komoditas.
"Oleh sebab itu, jika harga komoditas tumbuh di atas 7%, namun ekonomi hanya tumbuh 5%, berarti di domestik ada yang salah,” kata Dradjad.
Di pasar keuangan, menurut Dradjad, kondisinya pun sangat positif. Indeks MSCI (Morgan Stanley Capital International, yaitu sebuah indeks pertumbuhan pasar modal dunia, melejit rata-rata 22% di 47 negara selama tahun 2017.
Dow Jones Industrial Average menembus 25000. Pasar modal mulai dari London hingga Tokyo ikut pecah rekor. Undang-undang pajak yang baru dari Donald Trump ikut memberi sentimen positif bagi pelaku pasar modal.
"Singkatnya, ekonomi global sedang menguat,,” papar ekonom PAN tersebut.
Mayoritas pelaku dan analis pasar dunia juga cenderung optimistis melihat 2018. Memang ada risiko seperti tingkat dan tren utang Cina, kebijakan proteksionis Trump dan Brexit. Tapi secara umum, ekspektasi dunia sedang positif.
Sementara dari sisi domestik, menurut Dradjad, pada 2018 akan ada 171 pilkada serentak. Sekalipun Dradjad mengakui ada risiko politik di sini.
"Namun saya melihat pilkada lebih bernilai positif bagi perekonomian. Kenapa? Karena belanja KPU dan calon Kepala Daerah bisa menguatkan daya beli dan konsumsi rumah tangga, terutama di daerah,” paparnya.
Saat ini proporsi konsumsi rumah tangga adalah sekitar 55-56% PDB. Dalam hitungan kasar Dradjad, belanja pilkada bisa menyumbang tambahan pertumbuhan konsumsi sekitar 0,2-0,3%. Ini jika efek multipliernya tidak dihitung, yang mungkin cukup besar karena yang naik adalah konsumsi di daerah.
"Dengan dua faktor di atas, seharusnya Indonesia bisa mendobrak stagnansi pertumbuhan pada tahun 2018. Target 5,4% semestinya bisa relatif mudah dicapai,” ungkap Dradjad.
Jika ingin lari lebih kencang, menurut Dradjad, memang pemerintah perlu membenahi faktor domestik yang membuat Indonesia kehilangan momentum tahun 2017. Contohnya antara lain kebijakan populis anti-bisnis dari beberapa beberapa kementerian serta kelemahan implementasi kebijakan ekspor dan investasi.