EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah AS terancam berhenti beroperasi (shutdown) setelah Senat gagal menyetujui anggaran baru. Penghentian sementara operasional Pemerintahan di AS diprediksi berlangsung dari pekan ke empat Januari hingga pekan kedua Februari 2018.
Jika pemerintahan AS berhenti beroperasi bakal berdampak pada kondisi perekonomian negara adidaya tersebut. Dalam hal ini nilai tukar dolar AS akan terpengaruh karena pemulihan ekonomi AS terganggu.
Shutdown merupakan konsekuensi dari adanya ketidaksepakatan antara Presiden dan Kongres dalam penyusunan anggaran Negara khususnya terkait pembiayaan. Adapun departemen yang akan terkena efek penutupan sementara setidaknya Kementerian Perdagangan, NASA, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perumahan dan Kementerian Energi.
Lalu, bagaimana dampak shutdown pemenerintahan AS ini terhadap perekonomian Indonesia?
Menurut Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara, bagi Indonesia dampak terjadinya shutdown secara temporer sangat minim ke nilai tukar rupiah. "Proyeksi rupiah masih berada dalam rentang yang terkendali di kisaran 13.350-13.400 ketika terjadi shutdown. Hal ini disebabkan pada masa shutdown, dolar AS cenderung melemah terhadap mata uang negara lainnya," ujar Bhima kepada Republika.co.id, Sabtu (20/1).
Terjadinya shutdown menyebabkan prospek pemulihan ekonomi AS bisa terganggu. Dalam posisi ini, kata Bhima, justru rupiah akan diuntungkan. IHSG pun masih tetap positif diangka 6.490-6.500, didorong oleh sentimen investor dalam negeri terhadap prospek pemulihan ekonomi Indonesia.
Dalam konteks persiapan menghadapi rencana shutdown saat ini, cadangan devisa Indonesia masih cukup untuk stabilisasi kurs. Angka terakhir bulan desember 2017 cadangan devisa berada di posisi 130 miliar dolar AS.
Sebagai safety net atau jaring pengaman terhadap gejolak eksternal, kata Bhima, cadangan devisa harus terus ditingkatkan nilai maupun kualitasnya dengan mendorong devisa ekspor non-migas serta devisa pariwisata. "Bank Indonesia juga perlu terus memantau resiliensi atau ketahanan fundamental ekonomi terhadap tekanan global," katanya.