EKBIS.CO, JAKARTA – Memasuki musim panen raya tahun ini, harga gabah di sentra produksi beras nasional sudah mulai anjlok. Padahal, harga gabah kering panen (GKP) di daerah-daerah tersebut masih bertengger di atas Rp 5.000 per kilogram sampai pekan lalu.
Ketua Kelompok Tani Timbul Jaya Desa Pleset Kecamatan Pangkur Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, Purwoto Eko Yuwono, mengatakan, pada awal-awal panen bulan ini, petani bisa menjual GKP seharga Rp 5.200 per kilogram. Namun, saat ini harga gabah anjlok sampai Rp 4.800 per kilogram.
“Awal panen bulan ini harga bagus, petani senang. Tapi, sekarang ini hampir panen raya, semakin hari semakin turun. Petani tentu kecewa karena panen sudah ditunggu tiga bulan, hasilnya untuk bayar utang segala macam, kok harganya malah turun,” kata Purwoto, Senin (29/1).
Purwoto menjelaskan, total luas lahan sawah siap panen anggota kelompok tani Timbul Jaya mencapai 328 hektare. Adapun rata-rata produksi padinya mencapai 8,5 ton per hektare. Dengan produktivitas sebesar itu, gabah dari Desa Pleset selalu dijual ke luar kota lantaran mengalami surplus sangat besar.
Menurut Purwoto, para petani di Pangkur menyalahkan pemerintah yang berencana melakukan impor beras. Rencana impor beras itu pula yang membuat para tengkulak dan pengepul tidak mau membeli gabah petani dengan harga yang bagus sebagaimana panen sebelumnya.
“Rencana impor akan semakin membuat petani terpuruk. Kan aneh, waktu panen banyak kok malah impor? Kami jelas nggak terima. Kami punya produknya kenapa harus impor? Ini gabah melimpah, jangan petani terus jadi korban,” kata dia seraya meminta pemerintah mengkaji ulang rencana impor beras.
Kepala Dinas Pangan dan Perikanan Kabupaten Ngawi, Sunito, menyatakan, produksi beras para petani Ngawi dari luas lahan sawah yang mencapai 45 ribu hektare berjumlah 750 ribu sampai 800 ribu ton per tahun. Dari jumlah itu, penduduk Ngawi hanya menggunakan sekitar 20 persennya saja. Dengan kata lain, sebanyak 80 persen hasil produksi beras Ngawi dipasarkan ke daerah lain.
“Makanya, kita minta jangan impor saat ini. Panen raya sudah mulai, mau beli beras masih ada banyak kok, nggak bakal kesulitan. Ini Ngawi dan sekitarrnya saja sudah cukup, selalu over product,” ujar Sunito.
Petani di Desa Keyongan, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Semiyati, menyalahkan pemerintah yang berencana melakukan impor beras yang membuat harga gabah makin turun. Padahal, harga jual gabah yang rendah bisa membuat petani merugi. Sebab, biaya produksi padi saat ini cukup tinggi lantaran harga pupuk dan biaya tenaga kerja yang tinggi.
“Kalau mau impor, petani ya nanti males nanemnya. Kan harga (jual gabah) jadi murah. Rekoso (menderita). Makan apa nanti kami, Pak?” ujarnya.
Semiyati melanjutkan, pada saat panen terakhir, harga gabah di tingkat petani sangat bagus. Kondisi itu membuat para petani bersemangat melakukan tanam padi. Petani pun sangat menjaga sawahnya dari serangan hama dan penyakit tanaman. Karena itu, petani kecewa manakala saat panen raya saat ini harga gabah cenderung turun mencapai harga terendah.
“Kalau harga agak lumayan, kita semangat. Makanya, kalau bisa nggak usah impor biar harganya bagus lagi. Pak Jokowi kan dari sini, tolong dong dengar tetangganya sendiri,” kata Semiyati.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Tani Makmur, Desa Ketitang, Kecamatan Nogosari, Boyolali, Mulyono, memohon kepada pemerintah agar urung melakukan impor beras. Petani, kata dia, tidak meminta banyak dari pemerintah asalkan pemerintah bisa menjaga harga jual gabah stabil.
“Saya mohonkan tidak perlu jadi itu impor beras biar harga gabah di petani bisa stabil. Tidak terlalu rendah sekali. Pemerintah bisa membantu, khususnya untuk daerah Nogosari, karena puncak panen turun sampai Februari mendatang,” ujar Mulyono.
Sekretaris Dinas Ketahanan Pangan Boyolali, Pomo, menjabarkan, satu pekan lalu, harga jual GKP di lapangan berkisar antara Rp 5.200 sampai Rp 5.300 per kilogram. Namun demikian, harga jual GKP saat ini anjlok mencapai Rp 4.700 per kilogram di tingkat petani.
Mengenai produksi dan kebutuhan beras, Pomo melanjutkan, per Desember tahun lalu, Boyolali memiliki surplus beras sekitar 540 ribu ton. Kelebihan beras dijual untuk memenuhi kebutuhan daerah-daerah sekitar, seperti Purwodadi, Demak, dan Semarang. “Untuk cadangan juga masih cukup. Barang ada di rumah tangga. Sekarang ini petani hanya khawatir saat panen raya kok malah mau impor. Kalau jadi impor, kasihan petani. Malas nandur (menanam) petaninya nanti karena harga gabah terlalu murah. Apa petani tetap mau nanem? Kalau sudah dihantui harga nurun, ada impor, ya lemes jadinya,” ujar Pomo.
Ketua KTNA Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Juharto menyatakan, petani mulai resah dengan rencana pemerintah mengimpor beras. Petani juga menyebutkan, rencana impor tersebut merupakan biang keladi atas kondisi harga gabah yang turun saat ini.
“Dua pekan lalu kita jual gabah panen yang manual Rp 5.800 per kilogram, sekarang tinggal Rp 4.800 per kilogram. Petani se-Kabupaten Pati minta supaya impor dibatalkan. Pati ada surplus ratusan ribu ton beras. Kalau impor diteruskan, kita dianggap bangsa yang bodoh karena nggak bisa bertani,” ujar Juharto.