EKBIS.CO, JAKARTA -- Investasi yang ditanamkan PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) belum bisa terwujud. Sampai saat ini izin investasi pertambangan dan pabrik pengolahan bijih besi di Pulau Sebuku, terhambat izin Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.
"Kami tidak tahu apa alasan Pemprov Kalsel belum juga mengeluarkan izin yang kami perlukan," kata Direktur Operasi SILO Henry Yulianto di Jakarta, Kamis (1/2).
Henry menjelaskan upaya yang telah dilakukan perusahaan untuk mendapatkan perizinan. Pada 24 Oktober 2016, pihaknya telah mengirimkan surat kepada BP DASHL Barito yang ditembuskan ke Dinas Kehutanan Pemprov Kalsel perihal permohonan calon lokasi rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS). Namun, hingga kini belum ada tanggapan dari pemprov
Permohonan pemprov itu diperlukan perusahaan untuk memenuhi permintaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sesuai surat No 59/1/IPPKH/PMDN/2016 tertanggal 5 September 2016. Surat KLHK itu mewajibkan SILO menyampaikan Peta Lokasi Rencana Penanaman Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai.
Akibat belum diprosesnya permohonan oleh Pemprov Kalsel, Henry mengatakan, perusahaan menghentikan operasional yang berimbas pada perumahan karyawan dan akan berlanjut pada pemutusan hubungan kerja (PHK). "Dalam satu tahun terakhir karyawan sudah berkurang 300 orang dan tidak menutup kemungkinan 500 karyawan yang kini masih aktif mengalami hal yang sama," katanya.
Saat ini, dari sekitar 500 karyawan yang 74 persen warga Pulau Sebuku, hanya menerima gaji dan sudah tidak bekerja. Kondisi itu, kata Henry, berdampak langsung kepada masyarakat Pulau Sebuku karena selama ini warga setempat mengandalkan pendapatan dari pengoperasian SILO.
"Tidak beroperasinya SILO selain meresahkan karyawan, juga warga setempat yang menggantungkan ekonominya dari kami. Dari sekitar 5.000 warga Sebuku, 3.000 warga di antaranya tergantung dari operasi SILO," kata Henry.
SILO yang beroperasi di Pulau Sebuku, Kalsel, memiliki izin usaha pertambangan bijih besi seluas 12 ribu hektare. Saat ini, perusahaan sedang membangun empat unit pabrik pengolahan (smelter) dengan kapasitas total 6,3 juta ton bijih besi dengan rencana produksi "sponge ferro alloy" sebanyak 2,2 juta per tahun.
Keseluruhan kapasitas smelter dengan nilai investasi 180 juta dolar AS itu ditargetkan selesai pembangunannya pada 2021. Henry mengatakan, sambil menunggu proyek keseluruhan selesai, SILO memproduksi konsentrat dari satu unit smelter yang ada. "Pengoperasian satu smelter inilah yang kini terhenti dan berdampak pada perusahaan, karyawan, dan warga sekitar," kata dia.