EKBIS.CO, JAKARTA - PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) sebuah perusahaan pertambangan dan pengolahan (smelter) bijih besi di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan menolak uang jaminan Rp 51 miliar yang diminta Pemprov Kalsel. Uang jaminan itu terkait rehabilitasi lahan daerah aliran sungai (DAS).
Dirut SILO Mayjen TNI (Purn) Soenarko mengatakan, permintaan uang jaminan itu tidak memiliki dasar hukum yang jelas. "Jelas saja kami tolak, hal itu tidak berdasar hukum. Uang Rp 51 miliar tidak sedikit," ujar Soenarko melalui siaran tertulis yang diterima Republika.co.id, Ahad (4/2)
Sebelumnya, Pemprov Kalsel melalui surat Kepala Dinas Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq dengan nomor 522/1054/PDASRHL/Dishut tertanggal 25 Agustus 2017, menyebutkan SILO sebagai pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) seluas 1.731,6 ha, baru merealisasikan penanaman rehabilitasi DAS seluas 11,5 ha. Untuk itu, Dinas Kehutanan Pemprov Kalsel meminta kepada SILO menyiapkan rekening QQ (bersama) untuk kegiatan penanaman rehabilitasi DAS.
"Dalam rangka mendukung keberhasilan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi DAS IPPKH, Saudara diwajibkan menyiapkan rekening QQ yang dialokasikan khsusus hanya untuk kegiatan penanaman rehabilitasi DAS IPPKH minimal sebesar Rp 30 juta per ha untuk areal seluas 1.720,116 ha atau sebesar Rp 51.603.300.000," sebut Hanif dalam suratnya ke SILO.
Selanjutnya, surat tersebut juga menyebutkan jika SILO tidak memenuhi kewajiban DAS IPPKH seluas 1.720,116 ha, maka Dinas Kehutanan Pemprov Kalsel akan mengusulkan kepada pejabat berwenang untuk mencabut lokasi rehabilitasi DAS yang sudah ditetapkan.
Sikap SILO yang menolak permintaan itu juga diperkuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Melalui surat nomor S.29, Kepala Biro Hukum KLHK Krisna Raya mengatakan, uang jaminan Rp 30 juta per ha tidak ada dasar hukumnya.
Menurut dia, kegiatan penanaman DAS merupakan kewajiban SILO selaku pemegang IPPKH setelah calon lokasi penanaman DAS-nya ditetapkan KLHK. "Persyaratan agar SILO menyiapkan rekening QQ yang dialokasikan khusus untuk kegiatan penanaman rehabilitasi DAS IPPKH minimal Rp 30 juta per ha, tidak diatur oleh ketentuan peraturan perundangan-undangan," kata Krisna dalam suratnya ke SILO.
Soenarko juga mengatakan dalam siaran tertulisnya, hingga saat ini, pihaknya sudah menanam dalam rangka rehabilitasi DAS sekitar 400 ha dan telah mendapat tambahan untuk menanam lagi seluas 600 ha. Namun, Dinas Kehutanan Pemprov Kalsel tidak kunjung juga memberikan peta lokasi penanaman DAS, sebab SILO belum memenuhi uang jaminan Rp 51 miliar yang diminta pemprov itu sehingga penanaman 600 ha belum bisa dilakukan.
"Akibat uang jaminan Rp 30 juta per ha yang mereka minta tidak dipenuhi, menyebabkan penanaman DAS seluas 600 ha itu tidak bisa dilakukan. Sampai saat ini, kami tidak mendapat penjelasan apa yang menjadi kekurangan kami. Sebagai investor, semestinya kami dibina dan bukan di-'binasa'-kan seperti ini," katanya.
Sebelumnya, Direktur Operasi SILO Henry Yulianto mengatakan sejak 24 Oktober 2016, pihaknya sudah mengajukan peta lokasi rehabilitasi DAS sebagai kompensasi penerbitan IPPKH kepada Dinas Kehutanan Pemprov Kalsel. Namun, hingga saat ini, peta lokasi tersebut belum juga ditetapkan.
Akibatnya, pengoperasian smelter bijih besi SILO, yang hingga saat ini sudah menelan investasi 150 juta dolar AS atau sekitar Rp 2 triliun menjadi terhenti sejak November 2017 dan hal itu menyebabkan 533 karyawan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selain itu, mangkraknya smelter bernilai triliunan rupiah tersebut juga merugikan baik pemerintah pusat dan daerah, masyarakat setempat, dan juga perusahaan. "Di luar smelter itu, kami juga sudah menanamkan modal di pertambangan bijih besi sejak 2004," katanya.
SILO yang beroperasi di Pulau Sebuku, Kalsel memiliki izin usaha pertambangan (IUP) bijih besi seluas 12 ribu ha. Saat ini, perusahaan tengah membangun smelter dengan kapasitas total 6,3 juta ton bijih besi dan rencana produksi "sponge ferro alloy" 2,2 juta per tahun.
Keseluruhan pembangunan smelter dengan nilai investasi 180 juta dolar AS atau setara Rp 2,4 triliun tersebut ditargetkan rampung 2021. Namun, sambil menunggu proyek keseluruhan selesai, sejak 2014, SILO mengoperasikan smelter secara terbatas dengan hasil konsentrat bijih besi tadi. Pengoperasian sementara smelter tersebut kini terhenti dan merugikan baik karyawan, warga sekitar, pemerintah, dan juga perusahaan.
Meskipun demikian, hingga Ahad (4/2) siang, kepala dinas kehutanan kalimantan selatan Hanif Faisol belum mersepon ketika dimintai konfirmasi oleh Republika.