EKBIS.CO, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah mengimpor garam diyakini tidak akan mengganggu petani lokal. Sebab, garam yang diimpor adalah garam industri, bukan garam konsumsi.
Sekretaris Maritim Society Agust Shalahuddin menjelaskan, garam industri adalah garam dengan kandungan NaCl yang tinggi, antara 95 hingga 97 persen. Pada industri kimia, garam adalah bahan baku dan bahan penolong. Bagi manusia, garam adalah penyedap alias bumbu makanan.
Sederhananya, untuk industri yang dicari adalah mineralnya (Natrium Klorida), sementara untuk bumbu, yang dicari adalah rasa asinnya," kata Agust dalam keterangannya, Senin (5/2).
Dia mengatakan, pengguna garam industri beberapa di antaranya adalah industri chlor alkali plant (CAP), farmasi, dan Industri Non CAP seperti perminyakan, pengasinan ikan, kulit, tekstil, hingga sabun. Garam jadi kebutuhan yang tak bisa dilepaskan. Sementara hasil produksi garam rakyat masih belum mampu memenuhi kualitas garam industri.
Penyebabnya macam-macam, salah satunya adalah rendahnya salinitas air laut di sentra-sentra produksi garam di Indonesia. Untuk mencapai standar garam industri, diperlukan proses pengolahan lebih lanjut yang tidak murah.
"Masyarakat tidak perlu khawatir karena peruntukkan garamnya memang berbeda," kata Agust.
Meski begitu, ia tak menampik garam industri bisa digunakan untuk konsumsi. Akan tetapi, tegas dia, harus ada proses dan spesifikasi lainnya. Salah satunya adalah karena garam konsumsi harus mengandung yodium sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh Kemenkes RI. Selain itu, industri pengguna garam tentu tidak mau melepas bahan bakunya ke pasar konsumsi karena secara bisnis tidak menguntungkan.
Impor garam Indonesia.
Pernyataan Agust ini untuk meluruskan aksi penolakan garam impor oleh petani garam Madura di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya beberapa waktu lalu. Seperti diketahui, PT Mitra Tunggal Swakarsa mengimpor garam dari Australia untuk kebutuhan industri pengasinan ikan, namun petani mencurigai garam tersebut akan didistribusikan sebagai garam konsumsi.
Perlu diketahui, pengguna garam terbesar adalah industri, bukan manusia. Industri kimia mengkonsumsi 60 persen dari produksi garam dunia. "Manusia cuma sekitar 20 persennya," ungkap Agust.
Dalam industri pengasinan ikan, garam digunakan untuk pengawetan ikan. Kadar NaCl nya minimal sekitar 95 persen. Makin tinggi kadar NaClnya maka makin baik proses pengawetannya.
Nilai jual ikan yang sudah diawetkan jauh lebih tinggi dari hasil yang diperoleh dari menjual garam untuk kebutuhan konsumsi. Selain itu, kekurangan pasokan garam akan berdampak pada kerugian industri tersebut. "Jadi kekhawatiran para petani saya kira agak berlebihan," kata Agust.
Namun untuk melindungi produksi garam domestik, Agust setuju perbaikan terhadap mekanisme yang mampu memastikan garam industri impor tidak merembes ke pasar konsumsi. Saat ini, pemerintah menggunakan instrumen izin impor garam yang mencakup volume dan kualitas.