Tanaman tembakau merupakan komoditas penting di Indonesia. Keberadaannya mampu menggerakan perekonomian nasional. Tembakau merupakan solusi bagi petani pada saat sektor pertanian tidak memberikan nilai tawar ekonomi yang menguntungkan. Keberadaan tanaman tembakau, selain membuka lapangan pekerjaan dalam jumlah besar, juga untuk komoditas ekspor dan menyumbangkan pemasukan negara, terutama dari sektor cukai. Penerimaan cukai pada 2015 dari sektor tembakau bahkan mencapai Rp 207,5 triliun.
Saat musim panen 2017, harga jual tembakau yang mencapai Rp 35 ribu sampai dengan Rp 37 ribu, memberikan keuntungan cukup tinggi. Karena itu, 2017 merupakan tahun surga penjualan bagi para petani tembakau karena mereka dapat menikmati harga cukup tinggi setelah beberapa tahun mengalami keuntungan rendah.
Di tengah euforia para petani dalam meyambut harga jual tembakau yang tinggi, masih ada kekhawatiran petani dalam masalah serangan hama pada tanaman tembakau. Keberadaan hama menyebabkan keuntungan yang diterima petani menjadi berkurang dan bahkan pada serangan hama tinggi menyebabkan gagal panen total.
Serangan hama ini menyerang pada bagian tanaman yang memiliki nilai ekonomi tertinggi pada tanaman tembakau, yaitu daun. Hal itu tentu saja akan berakibat secara langsung pada hasil penjualan petani tembakau.
Salah satu ancaman terbesar serangan hama pada tanaman tembakau adalah serangan ulat grayak (Spodoptera litura). Hama ini merupakan serangga hama polifag dan memiliki kisaran inang tanaman lebih dari 112 tanaman pertanian yang terdiri dari 44 famili yang tersebar pada beberapa negara di Asia.
Hama ini biasanya meletakkan telur secara berkelompok, satu kelompok dapat berisi 350 butir. Peletakan telur secara berkelompok ini menyebabkan larva yang baru menetas juga berkelompok dan segera menyebar jika sudah mencapai instar ketiga. Larva instar 1-2 masih bergerombol dan memakan lapisan epidermis daun, sehingga daun menjadi kering, sedangkan larva instar 3-5 sudah terpencar dan memakan semua bagian daun kecuali tulang daun.
Serangan ulat grayak aktif dilakukan pada malam hari dan menyebabkan kerusakan tanaman tembakau sangat besar. Teknologi pengendalian ulat grayak yang saat ini banyak dilakukan adalah penggunaan asap cair tembakau, tanaman perangkap, patogen serangga, musuh alami, pestisida kimia, dan kultivar tahan.
Dari beberapa teknik pengendalian hama ini, penggunaan kultivar tahan memiliki keunggulan karena teknologi ini paling mudah dalam penerapan di kalangan petani karena sederhana dan tidak memerlukan pelatihan teknologi khusus terhadap petani. Penggunaan kultivar tahan hama dapat diintegrasikan di dalam sistem pengendalian hayati terpadu (integrated pest management). Kultivar juga dapat menciptakan tekanan cukup luas terhadap hama jika diterapkan dalam sistem pengendalian terpadu dalam skala luas (area wide pest management).
Kultivar lokal memiliki karakter morfologi dan kemampuan adaptasi terhadap lahan dilokasi tersebut sehingga lebih maksimal dalam menekan serangan hama. Serongsong merupakan tembakau warisan leluhur yang banyak berkembang di Kabupaten Probolinggo. Keberadaan kultivar ini berkembang secara regional di sekitar Probolinggo. Karena keunggulan karakter morfologinya menyebabkan tanaman ini dapat diandalkan di daerah tersebut untuk menangkal serangan hama.
Balittas melakukan uji multilokasi tembakau Serongsong untuk mengetahui respons beberapa kultivar tembakau ini terhadap serangan hama. Hal ini perlu dilakukan karena dalam pengembangan ke depan diperlukan informasi akurat jenis kultivar Serongsong yang manakah yang paling layak untuk dikembangkan secara luas.
Beberapa kultivar Serongsong yang telah dilakukan uji multilokasi, antara lain adalah Serongsong Balittas, Serongsong AOI, Jimamut, Samporis, Serongsong Super. Uji multilokasi ini telah dilaksanakan sejak 2016 dan beberapa kultivar menunjukkan karakter yang mampu menangkal serangan hama.
Serangan hama pada DB Serongsong di Kecamatan Besuk dan Krejengan Probolinggo berkisar antara 7,33 sampai 13,33 persen. Sedangkan pada kultivar pembanding Paiton 1 memiliki serangan hama berkisar antara 8 sampai 15 persen.
Kultivar DB Serongsong memiliki tingkat serangan hama lebih rendah sebesar 14,78 persen. Tingkat serangan hama yang lebih rendah ini menunjukan bahwa kultivar Serongsong layak untuk dikembangkan ke depannya sebagai alternatif petani menghadapi serangan hama.
Dari hasil uji multilokasi ini memperlihatkan bahwa peluang pengembangan Serongsong ke depan sangat besar. Penggunaan kultivar tahan hama merupakan teknologi yang sangat mudah untuk diterima dan diaplikasikan petani dalam skala luas. Selain itu, keunggulan Serongsong sebagai kultivar unggul lokal memberikan nilai tambah sendiri karena dengan pengembangan kultivar lokal dapat melestarikan sumber daya genetik lokal dan relatif lebih dapat bertahan terhadap lingkungan serta serangan hama.