Senin 05 Mar 2018 14:46 WIB

Pelemahan Rupiah Diperkirakan Hanya Sementara

Pelemahan rupiah bukan disebabkan fundamental ekonomi Indonesia jelek.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Andi Nur Aminah
Petugas menunjukan pecahan uang dolar Amerika Serikat di salah satu gerai penukaran mata uang asing, di Jakarta. (ilustrasi)
Foto: Galih Pradipta/Antara
Petugas menunjukan pecahan uang dolar Amerika Serikat di salah satu gerai penukaran mata uang asing, di Jakarta. (ilustrasi)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah masih cenderung melemah terhadap dolar AS. Namun, pelemahan tersebut diperkirakan hanya sementara karena fundamental ekonomi Indonesia yang baik.

Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) di Bank Indonesia, nilai tukar rupiah ditetapkan sebesar Rp 13.740 per dolar AS pada Senin (5/3). Angka itu sedikit menguat dibandingkan Jumat (2/3) di level Rp 13.746 per dolar AS.

Sementara data Bloomberg USDIDR Spot Exchange Rate, perdagangan rupiah pada Senin dibuka di level Rp 13.747 per dolar AS. Sedangkan penutupan perdagangan pada Jumat sebesar Rp 13.757 per dolar AS.

Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, mengatakan, nilai tukar rupiah masih ada kecenderungan melemah walaupun pelemahannya agak terbatas. Menurutnya, pelemahan tersebut karena faktor sentimen, bukan disebabkan fundamental ekonomi Indonesia jelek. "Kalau kita lihat pelemahan ini cukup signifikan sejak pertengahan Februari sampai sekarang, khususnya karena ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed," kata Josua saat dihubungi Republika.co.id, akhir pekan lalu.

Josua menambahkan, Gubernur The Fed, Jerome Powell sudah dua kali berbicara di Kongres mengenai assesment terhadap ekonomi AS yang cukup baik. Hal itu yang mendorong ekspektasi kenaikan suku bunga AS. Pasar sudah mulai mengantisipasi sehingga terjadi kenaikan di imbal hasil surat utang AS. Sehingga membuat pasar keuangan di global terkoreksi hampir 1,7 persen. "Faktor itu membuat mata uang dolar AS ini cenderung menguat baik terhadap mata uang utama dan mata uang Asia," terangnya.

Menurutnya, pelemahan rupiah yang disebabkan faktor sentimen, bukan fundamental ekonomi Indonesia, dilihat hanya bersifat sementara. Di samping itu, Bank Indonesia juga selalu berada di pasar.

Jika rupiah dipandang terlampau melembah, maka BI langsung intervensi di pasar. Sehingga tidak terjadi pelemahan lebih lanjut. "Karena biasanya karena eksptekasi belum kejadian tapi market sudah reaktif, saat kejadian nanti market sudah tidak reaksi. Mungkin pelemahannya sampai dengan FOMC bulan Maret," ungkapnya.

Josua menjelaskan, salah satu penyebab nilai tukar rupiah sangat tergantung faktor eksternal karena keseimbangan esternal diukur dari neraca transaksi berjalan. Indonesia merupakan salah satu negara di Asean yang masih mengalami defisit di transaksi berjalan, dibandingkan negara lain. Hal itu yang menjadi konsekuensi Indonesia cukup tergantung pada dolar.

Beberapa tahun yang lalu, ekspor Indonesia berjaya, terutama di sektor pertambangan, perkebunan dan migas meningkat. Sehingga saat itu neraca transaksi berjalan bisa surplus. Namun, tujuh tahun terakhir ini transaksi berjalan mengalami defisit. Sebab, Indonesia masih belum punya produktivitas dan nilai tambah ekspor belum begitu kelihatan. "Transaksi berjalan masih defisit, maka ketergantungan terhadap dolar lebih tinggi dibanding currency (mata uang) lain," jelasnya.

Ke depan, lanjutnya, dilihat dari sisi fundamental Indonesia semakin kuat, dimana sudah tergolong investment grade. Selain itu, ada ekspektasi tahun ini Moody's akan mengikuti langkah S&P dan Fitch yang telah menaikkan rating Indonesia.

Cadangan devisa Indonesia juga semakin kuat. Rasio terhadap utang jangka pendek juga masih di atas requirement. Dengan tingkat suku bunga BI saat ini diharapkan bisa menjangkar inflasi dan menjaga stabilitas rupiah. "Melihat indikator makro kita saya sih tidak khawatir. Kuncinya bahwa sistem keuangan kita baik, fundamental kita baik, diharapkan kita dapat bertahan dengan risiko kenaikan suku bunga The Fed," ujarnya.

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement