Ahad 01 Apr 2018 21:20 WIB

Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional

Total premi yang dibayarkan peserta asuransi syariah menjadi milik peserta kolektif.

Red: Satria K Yudha
Pakar Fiqih Muamalah Ustadz Oni Sahroni saat memaparkan penjelasan pada kegiatan Kajian Ahad Pagi dengan tema  Pesan Makanan via Jasa Transportasi Online Menurut Fikih Islam di Masjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Ahad (18/2).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pakar Fiqih Muamalah Ustadz Oni Sahroni saat memaparkan penjelasan pada kegiatan Kajian Ahad Pagi dengan tema Pesan Makanan via Jasa Transportasi Online Menurut Fikih Islam di Masjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Ahad (18/2).

EKBIS.CO,   Oleh: Dr Oni Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

 

 

Assalamualaikum wr wb. 

 

Pak Ustaz, mohon penjelasannya terkait mekanisme atau proses yang terjadi di asuransi syariah dan bagaimana referensi atau dalilnya? Apakah sudah sesuai syariah? Terima kasih. 

(Aisyah-Jakarta)

 

 

Waalaikumussalam wr wb. 

Produk-produk asuransi syariah di Indonesia mengacu pada fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia tentang asuransi syariah dan regulasi terkait asuransi syariah yang dikeluarkan otoritas terkait. Di antara fatwa-fatwa DSN terkait asuransi syariah yang menjadi referensi produk asuransi syariah adalah Fatwa DSN MUI No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah dan Fatwa DSN MUI No.51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musyarakah pada Asuransi Syariah.

 

Selain itu, Fatwa DSN MUI No.52/DSNMUI/ III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah serta Fatwa DSN MUI No.53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah. Ada beberapa parameter yang menunjukkan konsep asuransi syariah sudah sesuai syariah.

 

Pertama, kaidah atau rumus yang berlaku di asuransi konvensional adalah transfer of risk dan jual beli risiko. Artinya, setiap premi yang dibayarkan peserta asuransi adalah harga beli, sedangkan mitigasi risiko dan biaya pertanggungan itu adalah objek jual. Premi yang dibayarkan sebagai harga beli tersebut itu pasti jumlah dan nominalnya, sedangkan biaya pertanggungan itu tidak pasti karena terkait dengan klaim yang diajukan.

 

Oleh karena itu, sangat mungkin terjadi surplus underwriting karena peserta asuransi membayar premi secara berkala, tetapi tidak pernah sakit atau mengajukan klaim sehingga menjadi pendapatan perusahaan. Atau, terjadi sebaliknya (defisit underwriting), yakni peserta asuransi baru dua kali membayar premi, misalnya, tetapi terkena musibah dan mengajukan klaim dengan biaya pengobatannya melebihi premi yang dibayarkan.

 

Surplus undewriting atau defisit underwriting yang terjadi dalam asuransi konvensional tersebut tidak pasti atau dalam terminologi fikih disebut garar yang dilarang dalam Islam, sesuai dengan hadis Rasulullah SAW, "Rasulullah melarang jual beli garar." (HR Muslim).

 

Dalam asuransi syariah, agar ketidakpastian ini tidak terjadi maka transaksi yang diberlakukan bukan transfer of risk, melainkan tabarru atau hibah atau tanahud. Setiap premi atau kontribusi yang di bayarkan peserta asuransi bukan lagi sebagai harga beli, melainkan sebagai tabarru atau hibah kepada peserta kolektif. Total premi yang dibayarkan peserta asuransi syariah menjadi milik peserta kolektif.

 

Oleh karena itu, pada saat terjadi surplus underwriting maka nasabah tersebut tidak dizalimi atau dirugikan karena dananya digunakan untuk peserta lain karena sudah melepaskan haknya kepada peserta kolektif. Begitu pula jika terjadi defisit underwriting, tidak ada hak orang lain yang terzalimi karena digunakan untuk membayar klaimnya. Sebab setiap orang sudah melepaskan haknya untuk memberikan premi kepada kelompok peserta asuransi syariah.

 

Kedua, asuransi konvensional menempatkan seluruh premi yang dibayarkan oleh peserta asuransi di deposito bank konvensional atau obligasi (surat utang). Baik deposito atau obligasi tersebut adalah pinjaman berbunga yang sesuai dengan kaidah fikih, "Bahwa setiap pinjaman yang memberikan manfaat kepada kreditur yang disyaratkan termasuk riba." Setiap kelebihan yang diterima oleh kreditur, seperti deposan dan pemilik obligasi adalah riba.

 

Agar transaksi pinjaman berbunga ini bisa dihindarkan dan tidak terjadi di asuransi syariah, maka regulasi dan fatwa DSN MUI mewajibkan penempatan premi harus di instrumen yang sesuai syariah, di antaranya, ditempatkan di deposito bank syariah atau di instrumen sukuk yang sudah sesuai syariah. Di antara fatwa DSN MUI yang menegaskan hal tersebut adalah Fatwa DSN MUI No.03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Depo sito dan Fatwa DSN MUI No.69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.

 

Dengan dua parameter tersebut, bisa disimpulkan bahwa mekanisme asuransi syariah telah terhindar dari riba dan garar serta sesuai syariah. Wallahu a'lam

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement