Selasa 03 Apr 2018 09:25 WIB

Perang Dagang, Gedung Putih Kritik Aksi Balasan Cina

AS menilai aksi balasan Cina dapat mendistorsi pasar global.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Donald Trump
Foto: AP
Donald Trump

EKBIS.CO, WASHINGTON -- Gedung Putih mengkritik keputusan tindakan balasan Cina yang memberlakukan tarif untuk produk pertanian dan peternakan Amerika Serikat (AS). Gedung Putih menuding tindakan balasan Cina dapat mendistorsi pasar global.

"Subsidi Cina dan kelebihan kapasitas adalah penyebab krisis baja, Cina perlu menghentikan praktik perdagangan tidak adil yang merugikan keamanan AS dan mendistorsi pasar global," ujar Juru bicara Gedung Putih Lindsay Walters, dilansir BBC News, Selasa (3/4).

Pada Maret 2018 lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif baja dan aluminium  khusus ke Cina karena alasan keamanan nasional dan melindungi industri dalam negeri. Beberapa negara sekutu tertentu seperti Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa sedang bernegosiasi untuk mendapatkan pengecualian tarif tersebut.

Tak hanya itu, Presiden Trump juga akan mengenakan tarif impor untuk produk-produk teknologi dari Cina. Kebijakan ini membuat Cina geram, dan memutuskan untuk melakukan aksi balasan.

 

Cina mengumumkan akan mengenakan tarif senilai 3 miliar dolar AS atas produk-produk yang diimpor dari AS, terutama produk hasil pertanian dan peternakan seperti kacang-kacangan, buah-buahan segar dan buah-buahan kering, serta daging.

Penasihat Perdagangan Gedung Putih Peter Navaro menilai, aksi balasan Cina dapat meningkatkan eskalasi ketegangan dalam perdagangan global. Hal ini disampaikannya dalam sebuah wawancara dengan saluran televisi CNBC.

"Saya tidak berpikir ini merupakan aksi respon, bukan itu yang seharusnya terjadi, ini hanya mengarah pada eskalasi," kata Navarro.

Navarro mengatakan, Presiden Trump dengan tegas tetap berkomitmen terhadap kebijakan yang sudah diumumkan. Kebijakan ini diharapkan akan menimbulkan keseimbangan perdagangan antara AS dan Cina.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement