EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah Indonesia akan meneliti dan mengatisipasi dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina. Evaluasi ini akan dilakukan pemerintah pada semester II 2018 yang menjadi enam bulan pertama pascadimulainya pasar dagang oleh AS.
Pemerintah juga bakal menyiapkan berbagai instrumen yang bisa diterbitkan guna mengurangi tekanan pasar dagang. "Dan kita juga berharap daya tahan dari industri dan para pelaku ekonomi kita dalam situasi menghadapi tekanan seperti ini," ujar Sri Mulyani di Istana Kepresidenan, Senin (9/7).
Penerbitan instrumen ini diharap mampu memperkuat ekspor dan berbagai aktivitas ekonomi yang bisa menghasilkan devisa bagi negara termasuk sektor pariwisata. Di sisi impor, pemerintah pun akan mengerem permintaan barang dari luar negeri yang dianggap tidak terlalu prioritas dan bisa dihasilkan oleh produsen dalam negeri.
Donald Trump
Sri Mulyani menuturkan, dari paparan yang disampaikan Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, dan Menteri ESDM pemerintah akan menginventarisasai beberapa hal yang diusulkan untuk dikaji jika memang membutuhkan insentif khusus.
Baca juga, Mendag tak Perlu Khawatir Perang Dagang.
Beberapa industri dianggap membutuhkan kebijakan guna menjaga bea masuk. Ini dilakukan agar barang yang menjadi bahan baku industri tersebut, terutama bagi industri yang pabriknya tergolong tua dan masih membutuhkan impor barang modal. Sehingga produk yang dihasilkan nantinya bisa lebih kompetitif ketika dijual ke luar negeri. "Apakah bisa dibebaskan bea masuknya. Kita akan melakukan evaluasi," ujar Sri Mulyani.
Selain insentif bea masuk, pemerintah pun akan memberikan dukungan bagi industri dalam bentuk pajak yang ditanggung pemerintah, sehingga tidak menjadi beban perusahaan. Pada prinsipnya pemerintah akan melihat industri manufaktur mana saja yang bisa menghasilkan barang ekspor dan menghasilkan substansi impor. Jika perusahaan ini tidak diberikan bea masuk yang rendah, maka alternatif peralihan pajak menjadi langkah lain.
Sri Mulyani mengatakan, selain menyiapkan insentif bagi industri dalam negeri, pemerintah Indonesia juga akan melihat dinamika dari perkembangan ekonomi global termasuk perdagangan secara langsung Indonesia-Amerika. Di lain pihak, pemerintah pun terus memantau perkembangan tata cara dagang Amerika dengan negara lain di Eropa dan Meksiko di mana negara Paman Sam memiliki kebijakan perdagangan tersendiri.
"Maka kita sekarang melakukan assesment terhadap ekonomi dunia, karena ekonomi dunia akan terpengaruh dari hubungan yang tidak baik ini, hubungan yang mengalami ketegangan," ujar Sri Mulyani.
Pengumuman insentif seperti bea masuk dan pajak yang ditanggung pemerintah terlebih dahulu akan dibahas di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam pembahasan ini kemudian ditentukan industri mana yang paling cepat reaksinya terhadap instrumen tersebut, dan seberapa mendesak industri yang berkaitan mendapatkan instrumen dari pemerintah.
"Nanti kita lihat dalam rapat dengan Menko begitu kita identifikasi itu adalah suatu yang bisa dilakukan cepat dan sangat bisa membantu dunia usaha, maka kita lakukan. Kalau tidak membutuhkan perubahan PP (peraturan pemerintah), hanya perubahan PMK (peraturan menteri keuangan) bisa relatif sangat cepat, karena itu langsung di bawah saya," papar Sri Mulyani.
Selain evaluasi dalam satu semester ke depan, pemerintah pun akan melakukan evaluasi dalam 12 dan 18 bulan ke depan. Sebab segala hal bisa terjadi dengan ketidakpastian yang terjadi, khususnya berbagai kebijakan yang bisa saja diluncurkan oleh AS maupun negara lain. Untuk itu, pemerintah saat ini hanya bisa memitigasi dengan meminimalkan risiko pada dunia usaha, tapi dalam waktu yang bersamaan menyiapkan penyesuaian pada lingkungan ekonomi yang baru.
Baca juga, BI Perang Dagang Berdampak Buruk Bagi Dunia.
Keputusan AS memberlakukan tarif perdagangan pada berbagai mitra dagang utama, termasuk Cina, Uni Eropa, India, Rusia dan mitra NAFTA kunci dari Kanada dan Meksiko mengarahkan dunia ke arah perang perdagangan global.
Kepala Ekonom Asia Pasifik di IHS Markit, Rajiv Biswas, menyatakan, skenario perang perdagangan global yang meningkat dapat memangkas pertumbuhan PDB Asia-Pasifik sebanyak 1 persen pada 2019. Hal itu tergantung pada berapa lama perang dagang ini berlanjut dan seberapa jauh eskalasi akan terjadi.
Wilayah Asia Pasifik sangat rentan terhadap skenario perang perdagangan karena Cina berada di garis depan langkah-langkah tarif AS dan merupakan ekonomi terbesar di APAC (Asia Pasifik). "Banyak ekonomi APAC lainnya juga rentan terhadap kerusakan agunan dari perang perdagangan AS-Cina yang meningkat karena rantai pasokan manufaktur Asia Timur yang terintegrasi dan pentingnya Cina sebagai pasar ekspor untuk ekonomi APAC lainnya," jelasnya melalui siaran pers, Senin (9/7).
AS menerapkan tarif pajak sebesar 25 persen pada impor Cina senilai 34 miliar dolar dan mulai berlaku mulai 6 Juli 2018. Cina segera membalas dengan tarif pada jumlah yang setara dengan impor senilai 34 miliar dolar AS dari AS. Tarif tersebut menargetkan produk pertanian AS, termasuk kedelai, susu dan daging sapi serta otomotif dan suku cadang buatan AS.
Pemerintah AS berencana meningkatkan hingga 50 miliar dolar AS nilai total produk-produk Cina yang akan dikenakan tarif tarif Bagian 301. Presiden Trump juga mengindikasikan tambahan impor senilai 200 miliar dolar AS dari Cina jika Beijing memberlakukan langkah-langkah tarif pembalasan.