EKBIS.CO, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengimbau masyarakat jangan euforia berlebihan terkait divestasi Freeport. Alasannya, head of agreement (HoA) yang sudah ditandatangani bersama dengan Freeport McMoran masih harus ditindaklanjuti dengan sejumlah perjanjian lainnya.
"Pada 12 Juli, pemerintah telah menandatangani HoA dengan Freeport McMoran. Tentu ini perlu disambut dengan baik, namun tidak perlu dianggap suatu kemenangan bagi Indonesia, terlebih lagi untuk memunculkan eforia di masyarakat," ujar Hikmahanto Juwana di Jakarta, Jumat (13/7).
Baca juga, Freeport Rugikan Negara Rp 185 Triliun
Dari perspektif hukum ada beberapa alasan untuk ini. Pertama HoA bukanlah perjanjian jual beli saham. HoA merupakan perjanjian payung sehingga mengatur hal-hal prinsip saja.
Hikmahanto mengatakan HoA akan ditindaklanjuti dengan sejumlah perjanjian. Perjanjian yang harus dilakukan untuk benar-benar pemerintah memiliki 51 persen adalah Perjanjian Jual Beli Participating Rights antara Rio Rinto dengan Pemerintah yang nantinya dikonversi menjadi saham sebesar 40 persen di PT FI.
Lalu perjanjian jual beli saham antara Pemerintah dengan Freeport McMoran sejumlah 5,4 persen. Perjanjian-perjanjian di atas harus benar-benar dicermati karena bagi lawyer ada adagium yang mengatakan the devil is on the detail (setannya ada di masalah detail).
"Kerap bagi negosiator Indonesia mereka akan cukup puas dengan hal-hal yang umum saja," kata dia.
Kedua, menjadi pertanyaan berapa harga yang disepakati untuk membeli Participating Rights di Rio Tinto dan saham yang dimiliki oleh Freeport McMoran. Ini muncul karena bila konsesi tidak diperpanjang hingga 2021 tentu harga akan lebih murah dibanding bila konsesi mendapat perpanjangan hingga tahun 2041.
Hingga saat ini belum jelas apakah pemerintah akan memperpanjang konsesi PT FI atau tidak. Untuk hal ini menjadi pertanyaan apakah pemerintah pasca 2019 (bila ada perubahan) akan merasa terikat dengan HoA yang ditandatangani atau tidak.
Ketiga hal yang perlu diperhatikan adalah pengaturan pengambil keputusan di RUPS. "Apakah ada ketentuan untuk sahnya kehadiran dan pengambilan keputusan harus dilakukan minimal 51 persen+1, bahkan lebih. Bila demikian meski pemerintah mayoritas namun pengendalian perusahaan masih ada ditangan Freeport McMoran," ujar Hikmahanto.
Terlebih lagi bila saham yang dimiliki oleh Freeport McMoran adalah saham istimewa yang tanpa kehadirannya maka RUPS tidak akan kuorum. "Juga bila penunjukan Direksi dan Komisaris harus tanpa keberatan dari Freeport McMoran," kata Hikmahanto.
Keempat, bila pemerintah telah menjadi pemegang saham di PT FI dan ada keputusan RUPS untuk meningkatkan modal. "Karena satu dan lain hal pemerintah tidak dapat melakukan penyetoran, apakah kepemilikan saham pemerintah akan terdelusi? Sehingga besaran 51 persen akan turun," ujar dia.
Tentu masih banyak hal-hal detail yang akan menjadi pembahasan antara pemerintah dengan berbagai pihak. Karenanya menyatakan pemerintah menang tentu merupakan suatu pernyataan yang prematur. Bila pemerintah transparan dan akuntabel maka apa yang disepakati dalam HoA sebaiknya dibuka ke publik.
"Ini untuk mencegah publik merasa dikhianati oleh pemerintahnya sendiri. Toh HoA sudah ditandatangani bukan dalam tahap negosiasi," kata Hikmahanto.