EKBIS.CO, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, Pemerintah Indonesia masih memerlukan kerja sama dengan Freeport McMoran Inc untuk mengelola kawasan pertambangan tembaga, perak dan emas di Tembagapura. Pernyataan Wapres disampaikan setelah pemerintah mengaku telah mendapat kepemilikan saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen.
"Kenapa hanya 51 persen? Karena kita masih membutuhkan teknologi dari Freeport itu sendiri. Kita bisa saja berusaha lebih besar, namun kita masih membutuhkan kerja sama, baik teknologi maupun kerja sama pemasaran dan manajemen dari proyek yang besar ini," kata Wapres Jusuf Kalla saat memberikan pembekalan kepada Calon Perwira Remaja Akademi TNI dan Polri di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu sore.
Selain itu, upaya Pemerintah untuk dapat memiliki 51 persen saham Freeport Indonesia merupakan langkah berkelanjutan untuk dapat menguasai keseluruhan saham di proyek pertambangan Bumi Cenderawasih itu.
Wapres Kalla mengatakan untuk dapat menguasai seluruh saham Freeport bagi Pemerintah bukanlah hal yang mudah, mengingat nilai proyek tersebut lumayan mahal hingga mencapai Rp 100 triliun. "Nilai Freeport sekarang itu kira-kira Rp 100 triliun, sehingga untuk membeli 49 persen sisanya itu nilainya hampir Rp50 triliun sendiri. Dan itu tentu bukan hal mudah untuk berbicara itu dengan mereka (Freeport Mcmoran Inc.)," ujarnya.
Untuk saat ini, yang bisa digali oleh Pemerintah Indonesia dengan upaya kepemilikan 51 persen saham tersebut, adalah dengan melibatkan sumber daya manusia Tanah Air.
"Tetap secara teknologi, secara teknis, kita tetap bekerja sama dengan Freeport yang telah menguasai teknis pertambangan seperti itu. Tapi kita (Pemerintah) ingin agar generasi muda, dengan mayoritas (saham) itu agar terlibat dalam manajemen, terlibat dalam teknologi, dan terlibat dalam operasional," ujar Jusuf Kalla.
PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), Freeport McMoran Inc, dan Rio Tinto telah melakukan penandatanganan Pokok-Pokok Perjanjian terkait penjualan saham Freeport dan hak partisipasi Rio Tinto di PT Freeport Indonesia ke Inalum. Kepemilikan Inalum di PTFI setelah penjualan saham dan hak tersebut menjadi sebesar 51 persen dari semula 9,36 persen.
Pokok-Pokok Perjanjian tersebut selaras dengan kesepakatan pada 12 Januari 2018 antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Provisi Papua, dan Pemerintah Kabupaten Mimika, di mana pemerintah daerah akan mendapatkan saham sebesar 10 persen dari kepemilikan saham PTFI.
Dalam perjanjian tersebut, Inalum akan mengeluarkan dana sebesar 3,85 miliar dolar AS untuk membeli hak partisipasi dari Rio Tinto di PTFI dan 100 persen saham FCX di PT Indocopper Investama, yang memiliki 9,36 persen saham di PTFI. Para pihak akan menyelesaikan perjanjian jual beli ini sebelum akhir tahun 2018.
Namun sejumlah pihak mempertanyakan kesepakatan ini. Heads of Agreement (HoA) yang ditandatangani oleh Inalum, Freeport McMoran dan Rio Tinto pada Kamis (12/7) dinilai menyisakan permasalahan terkait dengan status HoA dan harga pembelian. Apakah HoA bersifat mengikat ataukah tidak
"Menurut menteri BUMN pada konferensi pers dinyatakan HoA mengikat. Sementara dalam rilis dari laman London Stock Exchange disebutkan bahwa Rio Tinto melaporkan HoA sebagai perjanjian yang tidak mengikat (non-binding agreement)," ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana di Jakarta, Jumat.
Hal ini perlu mendapat klarifikasi mengingat status binding dan non-binding agreement mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. "Bila terjadi sengketa atas HoA dan dibawa ke lembaga penyelesaian sengketa maka menjadi pertanyaan apakah HoA hanya merupakan ikatan moral atau ikatan hukum? Ini tentu bisa melemahkan posisi Inalum," ungkap Hikmahanto.
Selanjutnya, dalam laman London Stock Exchange juga disebutkan, harga penjualan 40 persen participating Interest disebutkan sebesar 3,5 Miliar dolar AS. Harga tersebut sepertinya setelah memperhitungkan perpanjangan konsesi PT FI hingga 2041.
Baca juga, Drajad Sebut Pencitraan Freeport Kelewatan, Ini Alasannya.
Dalam hal demikian, sebaiknya, lanjut dia, Inalum tidak melakukan pembelian sebelum keluarnya izin perpanjangan dari Kementerian ESDM. Bila tidak maka manajemen Inalum pada saat ini di kemudian hari ketika tidak menjabat dapat diduga oleh aparat penegak hukum telah melakukan tindak pidana korupsi.
Hal ini karena manajemen dianggap telah merugikan keuangan negara. Kerugian negara dianggap terjadi karena harga pembelian participating interest didasarkan harga bila mendapat perpanjangan. "Padahal izin perpanjangan dari Kementerian ESDM pada saat perjanjian jual beli participating interest dilakukan belum diterbitkan," ujar dia.