EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menginisiasi Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif Tingkat Nasional. Indeks tersebut dibuat karena saat ini belum ada konsep pembangunan inklusif yang disepakati secara nasional maupun internasional.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menjelaskan, lembaga internasional seperti Asian Development Bank (ADB) dan World Economic Forum (WEF) punya kriteria berbeda soal ekonomi inklusif. Dia menjelaskan, ekonomi inklusif menurut ADB terdiri atas tiga pilar yaitu pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan untuk menciptakan dan memperluas peluang ekonomi, perluasan akses untuk menjamin masyarakat dapat berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari pertumbuhan. Selain itu, jaring pengaman sosial untuk mencegah kerugian ekstrim.
Adapun WEF mendefinisikan ekonomi inklusif sebagai suatu strategi untuk meningkatkan kinerja perekonomian dengan perluasan kesempatan dan kemakmuran ekonomi, serta memberi akses yang luas pada seluruh lapisan masyarakat.
Namun konsep ekonomi pembangunan ekonomi inklusif yang telah dikeluarkan berbagai institusi internasional, kata Bambang, belum mencerminkan tujuan pembangunan Indonesia secara spesifik karena tidak adanya fokus kepada isu ketimpangan (jender, wilayah, dan pendapatan) serta beberapa indikator yang tidak selaras dengan indikator pembangunan Indonesia. "Karena itu, kita kemudian menginisiasi Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif Tingkat Nasional Tahun 2011-2017," ujar Bambang, di Jakarta, Rabu (18/7).
Dia menjelaskan, Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif Tingkat Nasional Tahun 2011-2017 terdiri atas tiga pilar yang meliputi pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan, serta perluasan akses dan kesempatan.
Untuk pilar pertama, yaitu pertumbuhan ekonomi, DKI Jakarta mendapatkan indeks tertinggi sebesar 6,58, sedangkan provinsi dengan nilai indeks terendah pada pilar pertumbuhan ekonomi adalah Papua, dengan capaian 2,99. Nilai indeks secara nasional untuk pilar ini sebesar 5,17. Pilar kedua yaitu pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan, lagi-lagi DKI Jakarta memperoleh capaian tertinggi dengan nilai 7,31.
Sedangkan provinsi Papua memperoleh indeks terkecil dengan nilai 5,81. Nilai indeks secara nasional untuk pilar kedua ini adalah sebesar 6,64.
Terakhir, pilar ketiga, yaitu perluasan akses dan kesempatan, menempatkan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai provinsi dengan nilai tertinggi yaitu sebesar 6,69. Sedangkan provinsi yang paling tidak inklusif dalam pilar ketiga ini adalah Banten dengan nilai 4,03.
"Bappenas saat ini juga sedang mengembangkan Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif untuk tingkat kabupaten dan kota," katanya.