EKBIS.CO, WASHINGTON DC -- Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menggalang dukungan para importir produk Indonesia di Amerika Serikat (AS) untuk melakukan pendekatan kepada Pemerintah AS. Hal itu sebagai upaya mengamankan akses pasar produk Indonesia di negeri Paman Sam.
Langkah itu dilakukan untuk menghadapi kenaikan tarif impor besi baja dan aluminium, serta peninjauan ulang Indonesia sebagai penerima program Generalized System of Preferences (GSP) Pemerintah AS. Selain mengagendakan pertemuan bilateral dengan Pemerintah AS, Enggar mengajak para importir komoditas Indonesia di AS untuk turut mencari solusi atas kebijakan review GSP serta kenaikan tarif baja dan alumunium karena berpotensi mengganggu neraca perdagangan Indonesia-AS.
“Kenaikan bea masuk produk besi baja dan aluminium tidak hanya akan merugikan Indonesia sebagai eksportir, tetapi juga pelaku usaha AS. Karena, biaya produksi mereka akan meningkat, bahkan pasokan untuk proses produksi dapat terganggu. Akhirnya dapat merugikan daya saing perusahaan AS juga,” kata Enggar berdasarkan siaran pers yang diterima pada Selasa (24/7).
Para importir baja AS yang hadir dalam pertemuan mengatakan kenaikan bea masuk dapat membuat produk baja impor tidak kompetitif serta menahan laju pertumbuhan industri. Mereka mengakui produk Indonesia berkualitas baik dan produk tersebut memang tidak diproduksi oleh AS. Sehingga, hal tersebut semestinya tidak menjadi ancaman bagi industri baja AS.
Keputusan pengenaan tarif impor sebesar 25 persen untuk produk baja dan 10 persen untuk produk aluminium telah ditandatangani Presiden AS Donald Trump pada 18 Maret 2018 lalu. Sementara itu, menurut Enggar, produk baja dan aluminium dari Indonesia tidak menjadi kompetitor yang secara langsung mengancam industri dalam negeri AS. “Produk AS dan produk Indonesia dapat berperan secara komplementer di pasar AS. Hal ini sudah terlihat dari peran baja dan aluminium Indonesia yang telah menjadi bagian dalam sistem manajemen pasokan di AS,” kata Enggar.
Ekspor produk besi baja Indonesia ke AS pada 2017 tercatat sebesar 112,7 juta dolar AS atau hanya 0,3 persen pangsa pasar AS. Nilai itu disebabkan oleh penerapan bea masuk antidumping dan countervailing duty yang telah berlangsung cukup lama. Sementara ekspor aluminium 2017 ke AS tercatat sebesar 212 juta dolar AS dan pangsa pasar 1,2 persen. Bagi Indonesia, nilai ekspor tersebut berkontribusi terhadap 50 persen ekspor aluminium Indonesia ke dunia.
Para importir yang hadir dalam pertemuan menyampaikan industri kelas menengah AS membutuhkan skema GSP untuk menunjang bisnis mereka. Untuk menyampaikan aspirasi tersebut, para importir terlibat aktif dalam rapat dengar pendapat bersama Pemerintah AS selama proses peninjauan ulang atas negara-negara yang mendapat GSP.
Menurut Enggar, GSP memberikan manfaat besar baik bagi ekspor Indonesia maupun industri dalam negeri AS. “Indonesia memahami adanya review atas penerima GSP. Namun, Indonesia berharap hasil review tidak menganggu ekspor Indonesia ke AS dan tidak memberi dampak pada industri domestik AS yang selama ini memanfaatkan skema GSP. Tanpa skema GSP, maka harga produk akan naik dan daya saing akan terganggu,” ungkap Mendag.
GSP merupakan kebijakan AS berupa pembebasan tarif bea masuk (nol persen) terhadap impor barang-barang tertentu dari negara-negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara penerima fasilitas tersebut.
Pada April 2017, Pemerintah AS meninjau ulang beberapa negara yang selama ini menjadi penerima skema GSP AS, termasuk Indonesia. Pada 2017, produk Indonesia yang menggunakan skema GSP bernilai 1,9 miliar dolar AS. Angka itu masih jauh di bawah negara-negara penerima GSP lainnya seperti India sebesar 5,6 miliar dolar AS, Thailand 4,2 miliar dolar AS, dan Brazil 2,5 miliar dolar AS.
Produk-produk Indonesia yang diekspor ke AS dan masuk ke dalam komoditas penerima GSP antara lain ban karet, perlengkapan perkabelan kendaraan, emas, asam lemak, perhiasan logam, aluminium, sarung tangan, alat-alat musik, pengeras suara, keyboard, dan baterai.