EKBIS.CO, JAKARTA -- Defisit neraca perdagangan Indonesia di sektor migas diyakini bisa mengecil. Terutama saat blok migas Rokan diambil alih Pertamina pada tahun 2021 mendatang.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan, sejauh ini rata-rata produksi lifting minyak per hari hanya sekitar 770 ribu barel per hari (bph). Padahal, target dalam asumsi makro APBN 2018 sebesar 800 ribu bph. Sedangkan rata-rata konsumsi minyak nasional per hari sekitar 1,5 juta bph.
“Dikelolanya Blok Rokan maka Pertamina berpotensi setidaknya memenuhi 70 persen kebutuhan minyak nasional dari sebelumnya hanya sekitar 50 persen,” kata Abra kepada Republika.co.id, Rabu (1/8).
Potensi peningkatan produksi tersebut serta merta bisa membantu mengobati neraca perdagangan migas nasional yang tengah defisit. Mengutip catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada semester pertama 2018, defisit migas mencapai 5,4 miliar dolar AS. Angka itu naik dibanding neraca perdagangan migas pada periode sama tahun 2017 sebesar 4 miliar dolar AS.
Baca juga, Chevron Kecewa dengan Keputusan Pemerintah Indonesia.
Seperti diketahui, defisit dagang sektor migas menjadi pemicu utama defisit neraca perdagangan Indonesia di pasar global. Sebab, status Indonesia kini sudah menjadi negara net importir migas. “Ini pun tidak lepas dari permintaan minyak domestik yang terus naik. Pemicu utama karena kebutuhan industri dan kendaraan bermotor yang demikian pesat,” ujar Abra.
Pada saat yang bersamaan, harga minyak dunia tengah mengalami tren peningkatan. Hingga Rabu (8/1) rata-rata harga minyak mentah acuan west texast intermediate (WTI) sekitar 68 dolar AS per barel. Harga tersebut jauh diatas prediksi pemerintah dalam APBN 2018 sebesar 48 dolar AS per barel. Kenaikan harga tersebut lantas makin mendongkrak defisit sektor migas.
Baca juga, Jokowi: Negara Saat Ini Butuh Dolar.
Abra mengatakan, selain bisa menekan defisit, harga minyak dalam negeri pun bisa turun dan meringankan beban Pertamina. “Ketika produksi melimpah artinya kebutuhan akan bisa terpenuhi dan impor bisa perlahan dikurangi,” kata Abra.
Namun, lanjut dia, Blok Rokan tak akan banyak menekan defisit jika Pertamina menawarkan hak partisipasi kepada perusahaan swasta dengan mekanisme share down. Sebab, jika perusahaan lain ikut campur tangan maka hasil produksi yang bisa dipegang oleh Pertamina harus dibagi dengan perusahaan mitra.
“Menurut saya yang terbaik Pertamina mengelola 100 persen Blok Rokan. Akan kurang optimal jika kita serahkan lagi ke asing,” kata Abra.
Ladang minyak blok Rokan
Maka dari itu, pemerintah harus memiliki strategi khusus untuk memperkuat Pertamina dalam mengelola Blok Rokan. Salah satunya, melalui penyertaan modal negara (PNM).
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berpendapat lain. Dia menilai, Pertamina bisa menerapkan share down. Justru dengan cara itu, alokasi dana yang dimiliki perseroan bisa digunakan untuk berinvestiasi di blok-blok migas yang lain. “Menurut saya tidak ada perusahaan yang kerja sendiri. Pasti ada join agar ada pemerataan investasi,” kata Komaidi.
Chevron bisa kembali dilibatkan karena teknologi yang diterapkannya dibutuhkan Pertamina. Hal itu, lanjut dia, akan membantu Pertamina untuk mempertahankan sekaligus meningkatkan produksi minyak siap pakai dari Blok Rokan.