EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono menjelaskan langkah pemerintah untuk menyelesaikan divestasi saham Freeport saat ini adalah untuk menghindari proses arbitrase yang bisa saja diajukan oleh Freeport McMoran. Bambang menjelaskan, proses arbitrase memakan waktu yang tak sebentar, hal ini akan berdampak pada nasib pegawai.
Bambang mengatakan, ketika proses arbitrase berjalan otomatis, kegiatan di Grasberg akan berhenti. Selain negara akan kehilangan pendapatan, pegawai yang jumlahnya ribuan tersebut juga akan menerima dampaknya.
"AKtivitas penambangan nggak boleh berhenti. Secara teknis biaya recovery bisa lebih mahal. Terowongan panjang. Kalau dispute prosesnya (arbitrase) tidak selesai dalam satu atau dua tahun," ujar Bambang di Hotel JS Luwansa, Senin (6/8).
Bambang menjelaskan meski dalam Kontrak Karya tertulis bahwa Freeport berhak melakukan perpanjangan kontrak dua kali sepuluh tahun ketika kontrak habis. Saat Indonesia tidak memproses perpajangan kontrak, maka Freeport bisa melayangkan gugatan.
"Nah masalahnya kita bisa menang bisa kalah, tapi yang penting tambang itu tidak boleh berhenti karena biaya pemulihannya akan mahal, terowongan, akan panjang sekali, dispute tidak selesai dalam waktu 1-2 tahun, bisa cepat bisa lambat," ujar Bambang.
Selain itu, kata Bambangm, ada dampak sosial yang lebih besar. Ada 30 ribu pekerja yang bergantung nasibnya dari pekerjaan tersebut.
Jika tanpa operasi, lanjut Bambang, bagaimana perusahaan membayar 30 ribu pekerja. Menurutnya, ongkos yang dikeluarkan pemerintah jauh lebih besar.
"Jadi ini bukan hanya tentang nilai saham yang harus dibayarkan. Nasib pekerja selama dua tahun dalam proses arbitrase gimana?" kata Bambang.