EKBIS.CO, BOGOR -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menumpahkan kekecewaannya atas kritikan dari berbagai pihak terkait penandatanganan kesepakatan awal (head of agreement) antara pemerintah dan Freeport-McMoRan. Menurutnya, proses akuisisi PT Freeport bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan waktu yang lama.
Namun, ketika pemerintah telah sampai pada penandatanganan kesepakatan awal, justru kritik datang dari berbagai pihak. "Freeport sulit sekali, 40 tahun kita hanya diberi 9,3 persen. Dan, kita hanya diam saja gak ada yang bersuara. Saya negosiasi, menteri-menteri 3,5 tahun alot sekali. Jangan dipikir mudah. Saya minta jangan mundur minta 51 persen. Jangan mundur. Ditawar 30 persen, ndak, 51 persen mayoritas," kata Jokowi saat meresmikan pembukaan kader ulama MUI di Kabupaten Bogor, Rabu (8/8).
Ia pun mengaku tak mengerti dengan sikap sejumlah pihak yang justru tak mendukung langkah pemerintah tersebut. Seharusnya, kata Jokowi, pemerintah mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat.
"Sudah tanda-tangan head of agreement kesepakatan, kok malah suaranya jelek semua. Saya ndak ngerti gimana kita ini. Begitu ada kesepakatan HoA 51 persen tidak didukung penuh. Mestinya, seluruh rakyat mendukung penuh agar itu betul-betul bisa dikelola bangsa ini. Begitu dibilang antek asing?" ujarnya.
Tak hanya itu, Jokowi juga kecewa adanya tuduhan yang menyebut dirinya merupakan antek asing. Ia pun kemudian menyebutkan sejumlah upaya pemerintah yang justru membuktikan bahwa dirinya bukan antek asing.
Salah satunya yakni kepemilikan saham dan pengelolaan Blok Mahakam yang 100 persen diserahkan ke PT Pertamina serta pengelolaan Blok Rokan yang juga 100 persen diberikan ke Pertamina.
"Bagaimana antek asing? Yang namanya Blok Mahakam yang dulu dimiliki Prancis- Jepang sekarang 100 persen kita berikan ke Pertamina. Blok Rokan yang dikelola oleh Chefron AS sudah diambil 100 persen Pertamina," ujarnya.
Seperti diketahui, penandatanganan kesepakatan awal atau head of agreement antara pemerintah dan Freeport-McMoRan menuai kritik dari berbagai pihak. Langkah tersebut dinilai hanya sebagai pencitraan pemerintah.