EKBIS.CO, JAKARTA – Ekonom dari Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih menilai dominasi golongan bahan baku/penolong pada impor bulan Juli menjadi pertanda baik untuk kegiatan ekonomi Indonesia. Sebab hal tersebut menunjukkan bergeliatnya kegiatan produksi di sektor industri.
Tapi, Lana tidak menampik bahwa impor bahan baku/penolong menimbulkan kecemasan tersendiri mengingat angkanya yang tinggi yakni mencapai 13,67 miliar dolar AS selama Juli. "Ini harus menjadi concern. Meski menunjang kegiatan ekonomi dalam negeri, kalau kita terus impor, tandanya kita terus butuhkan devisa," tuturnya ketika dihubungi Republika, Jumat (17/8).
Lana mencontohkan, industri obat-obatan di Indonesia hampir 90 persen bahan bakunya didapatkan dari luar negeri. Seandainya dominasi tersebut bisa dikurangi menjadi 40 sampai 50 persen, tentu bisa berdampak lebih positif terhadap perekeonomian Indonesia. Selain meningkatkan kinerja produsen lokal, juga membuka peluang kerja lebih luas.
Menurut Lana, satu cara efektif untuk memperbaiki tingkat impor bahan baku/penolong yang tinggi ini adalah menggalakkan industri bahan baku dalam negeri. Pemerintah harus mendorong produsen dan memberikan kemudahan agar pengusaha lokal bisa membuat bahan baku/penolong yang biasanya diimpor.
"Upaya ini memang butuh waktu dan harus konsisten," ucapnya.
Cara lain adalah membatasi produk impor terhadap 500 komoditas, termasuk barang konsumsi, barang modal dan bahan baku. Langkah ini bisa digunakan untuk memperbaiki transaksi berjalan yang masih defisit.
Tercatat, sampai saat ini, defisit transaksi berjalan sekitar tiga persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Tapi, Lana mengingatkan agar pemerintah dan pihak terkait untuk memastikan substitusi dari 500 komoditas tersebut dan kontinuitasnya.
Jangan sampai, kata dia, ketika sudah ditemukan penggantinya, produksi dalam negeri tidak berjalan secara konsisten. “Ini justru menakutkan bagi investor ketika kontinuitasnya tidak ada,” ujar Lana.
Lebih lanjut Lana juga menganjurkan agar substitutusi 500 komoditas ini diutamakan terhadap barang konsumsi terlebih dahulu. Sebab, untuk bahan baku/penolong, Lana melihat bahwa industri manufaktur di Indonesia masih perlu digalakkan lagi dalam jangka waktu yang tidak sebentar.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa nilai impor pada Juli lebih besar dibanding Juni hingga 62,17 persen, yakni dari 11,26 miliar dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 18,27 miliar dolar AS. Apabila dibanding Juli tahun lalu juga terjadi peningkatan 31,56 persen dari 13,88 miliar dolar AS.
Dirinci menurut golongan penggunaan barang ekonomi, diketahui bahwa selama Juli 2018, golongan bahan baku/penolong memberikan peranan terbesar yaitu 74,84 persen dengan nilai 13,67 dolar AS. Ini diikuti oleh impor barang modal 15,75 persen (2,8 miliar dolar AS) dan barang konsumsi 9,41 persen (1,7 miliar dolar AS).