EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menuturkan, ada tiga faktor penyebab defisit neraca perdagangan semakin meningkat. Di antaranya, ketergantungan terhadap bahan baku dan modal dari produksi luar negeri atau impor yang semakin tinggi.
Penyebab kedua adalah pelemahan nilai rupiah. Apabila banyak impor di saat rupiah melemah, maka harga yang dibeli pun semakin menjadi mahal. "Ketiga, dari sisi migas, kegiatan produksi kita masih tergantung pada minyak, sedangkan minyak diimpor dari luar. Ketika harga minyak naik, menambah lebar defisit," tutur Faisal ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (17/8).
Menurut Faisal, dibutuhkan upaya bersifat struktural dan fundamental untuk memperkuat ekonomi khususnya di kegiatan produksi dalam negeri. Upaya ini harus mengarah pada pemanfaatkan sebesar-besarnya potensi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap impor.
Secara riil, Faisal menambahkan, pemerintah harus mengarahkan kegiatan produksi ke arah nonminyak sehingga terjadi pembauran energi. Dampaknya, tingkat ketergantungan minyak bisa diarahkan ke sumber energi yang dimiliki Indonesia. misalnya batu bara dan juga energi terbarukan yang belum menjadi fokus utama pemerintah.
Cara berikutnya adalah membuat peraturan agar investor dari luar negeri yang ingin menanamkan investasi di kegiatan produksi manufaktur dan infrasatruktur di Indonesia untuk memanfaatkan sumber daya dalam negeri. "Baik itu dari segi manusia maupun alamnya," ujar Faisal.
Apabila pasar masih melihat bahan baku dari Indonesia masih belum maksimal dari segi kualitas, berarti harus ada skema transfer teknologi. Tujuannya, agar kemampuan SDM bisa meningkat supaya tidak lagi bergantung pada tenaga luar negeri.
Neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit pada Juli hingga 2,03 mliar dolar Amerika Serikat (AS). Kondisi ini lebih buruk secara signifikan dibanding dengan neraca perdagangan bulan Juni yang menyentuh surplus 1,74 miliar dolar AS. Bahkan, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kondisi sekarang menjadi defisit tertinggi yang dialami Indonesia sejak 2013 (5,67 miliar dolar AS).