EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah mengemukakan opsi kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 impor atas 900 barang konsumsi dari luar negeri. Tujuannya untuk mengendalikan defisit neraca perdagangan yang sempat mencapai tiga persen.
Pengamat Perdagangan Internasional dari Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai, langkah pemerintah itu terlalu terburu-buru. "Kalau Pph ini dinaikkan lalu ada pengaduan dari negara partner maka bisa munculkan retaliasi maka bisa dianggap hambatan. Jadi menaikkan tarif secara nggak langsung terutama barang konsumsi harus lihat efeknya," ujarnya kepada Republika, Ahad (26/8).
Ia memaklumi, langkah PPh itu dilakukan untuk mengurangi tekanan di neraca perdagangan. Hanya saja terlalu prematur.
Lebih lanjut, kata dia, kenaikan PPh impor konsumsi bisa mengurangi daya konsumsi masyarakat. Padahal selama ini sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi.
Selain itu, menurutnya bisa pula memicu tingkat inflasi. "Bila PPh dinaikkan ada produk subtitusi dalam negeri apa tidak? Lalu apakah produk subtitusi tersebut memenuhi demand, selama belum ada kajian dan hitung-hitungannya akan susah karena purchasing power akan menurun serta memicu inflasi bila produk subtitusi tidak memadai," tutur Fithra.
Maka, dirinya menegaskan tidak perlu ada kenaikan PPh impor konsumsi. Apalagi selama ini sebagian besar barang impor merupakan bahan baku sedangkan impor barang konsumsi sangat kecil.
"Jadi kontradiktif. Langkah itu di luar mainstream perdagangan, sebab sekarang arah perdagangan merupakan terintegrasi dan kompetitif, langkah ini seakan kita nggak akan bisa berdaya saing sehingga ditahan laju impor barang-barangnya. Bukan begini cara menekan Current Account Deficit (CAD)," tegas Fithra.
Sebenarnya, kata dia, langkah pemerintah mengurangi proyek infrastruktur sudah cukup menahan CAD. Hanya memang tidak bisa langsung berdampak.
Ia yakin ke depannya CAD bisa turun di bawah tiga persen bila langkah pengurangan proyek infrastruktur dimaksimalkan. "Memang tidak benar-benar bisa mereda karena cara untuk benar-benar memulihkan kinerja ekspor tapi itu nggak bisa kayaknya dilakukan dalam waktu setahun karena industri kita belum betul-betul produktif," jelasnya.
Sementara Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI) Adhi S Lukman mengaku, sampai saat ini pelaku usaha belum resmi diundang rapat soal PPh konsumsi impor oleh pemerintah. "Hanya saja sudah mulai bahas nonformal. Hal itu karena list resmi belum resmi," ujarnya saat dihubungi Republika, Ahad (26/8).
Ia menegaskan, Gapmmi mendukung adanya kenaikan PPh impor hanya saja diharapkan aturan tersebut berlaku untuk impor konsumsi bukan impor bahan baku. "Selama ini kita impor banyak bahan baku," kata Adhi.