EKBIS.CO, NUSA DUA -- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menggelar The 3rd General Affairs Forum di Nusa Dua, Bali, Kamis (30/8). Forum tahunan ini mempertemukan komunitas para praktisi general affairs, general services, fasilitas kantor, dan profesional di bidangnya yang berkontribusi pada bisnis industri hulu migas Indonesia.
Wakil Kepala SKK Migas, Sukandar, mengatakan peran strategis general affairs di sektor hulu migas diperlukan untuk mewujudkan kesinambungan kegiatan operasional industri hulu migas di Indonesia. Tema tahun ini adalah "Breakthrough Through Synergy".
"Tanpa general affairs, pelaku industri hulu migas tidak dapat melaksanakan bisnis intinya," kata Sukandar di Nusa Dua, Kamis (30/8).
Prosentase sumbangan industri hulu migas perlahan menurun seiring kemajuan sektor ekonomi lain. Pendapatan migas membiayai pembangunan nasional, sehingga sektor hulu berperan menggerakkan sektor ekonomi lain.
Harga minyak bumi yang terus turun sejak akhir 2014 hingga awal 2017, ujar Sukandar, menyebabkan kegiatan eksplorasi dan produksi migas drastis di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Sebagian besar perusahaan migas terpaksa memangkas biaya-biaya operasi atau melakukan efisiensi.
Data SKK Migas menunjukkan investasi hulu migas cenderung menurun sejak 2014, mulai dari 21,7 miliar dolar AS menjadi 17,9 miliar AS pada 2015. Tren penurunan kembali terjadi menjadi sekitar 12,7 miliar pada 2016, kemudian 11 miliar dolar AS pada 2017.
General Affairs Forum tahun ini mendorong diskusi bagaimana pihak-pihak bekerja sama, memanfaatkan sumber daya seefisien mungkin. Namun tetap dapat menghasilkan kuantitas dan kualitas pekerjaan optimal dibanding bekerja secara individual. Sukandar mencontohkan dalam forum tahun ini diteken nota kesepahaman antara SKK Migas dengan PT Pos Indonesia.
"Nota kesepahaman ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan pengunaan jasa pengiriman Pos Indonesia untuk mendukung kegiatan usaha hulu migas nasional," katanya.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengidentifikasi tiga fase kritis pengelolaan barang dan jasa di sektor minyak dan gas bumi (migas). Anggota VII BPK, Eddy Mulyadi Soepardi mengatakan ini perlu menjadi bahan evaluasi SKK Migas.
Pada fase pengelolaan, masalah yang dihadapi mulai dari penyusunan Harga Perkiraan Sendiri atau Owner Estimate (HPS/ OE) tidak tepat, vendor tidak kompeten, vendor menawarkan harga tidak wajar atau terlalu rendah, dan penunjukan perusahaan afiliasi bermasalah. Pada fase pelaksanaan, masalah yang dihadapi antara lain vendor dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tidak mematuhi kontrak, penafsiran berbeda-beda terhadap pengadaan barang, vendor tidak mengawasi pekerjaan subkontraktor dengan baik, dan vendor tidak mematuhi ketentuan ketenagakerjaan.
"SKK Migas perlu mengawasi vendornya supaya tidak mempunyai subkontraktor yang abal-abal," kata Eddy.
Eddy memperkirakan banyak pengadaan barang nilainya 500 persen dari harga wajar. Masalah kemudian berlanjut ke fase pertanggungjawaban. Pembebanan biaya akhirnya tidak mengikuti ketentuan, monitoring SKK Migas belum menyeluruh, vendor tidak melengkapi dokumen pendukung pembayaran, vendor tidak menyerahkan bukti setoran pajak, dan berujung pada keterlambatan penyelesaian proyek.