Rabu 05 Sep 2018 12:50 WIB

Geliat Usaha Berbekal Sertifikat

Sertifikat SNI menjadi jaminan kualitas produk UMKM.

Red: Karta Raharja Ucu
Kegiatan penaburan bubuk mikroba Deogone di Kali Sentiong oleh HKTI Jakarta, Ahad (29/7).
Foto:
Suasana proses produksi bandeng tanpa tulang di UKM Bandeng 88 Marijo, Pinrang, setelah memperoleh SNI.

UKM Sukarela

Untuk penerapan SNI, pelaku usaha kecil menengah (UKM) mengajukan diri secara sukarela. BSN mencatat, sudah ada 364 UKM yang sudah menerapkan. Untuk industri tercatat sudah ada 13.256 penerap SNI.

Sosialisasi SNI di kalangan UKM mendapat sambutan positif. BSN pernah melakukan sosialisasi soal SNI di Banyuwangi, Jawa Timur. Menurut Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kabupaten Banyuwangi Alief Rahman Kartiono, pelaku pariwisata dan UMKM banyak yang mengikuti acara ini.

Langkah BSN terus melakukan sosialiasi dapat mendorong UKM menerapkan SNI karena mereka mengetahui manfaat dari penerapan SNI. Alief mengaku Banyuwangi terus berupaya agar pelaku UKM siap menghadapi globalisasi.

"Kita berbagi peran di tingkat satuan kerja pemerintah daerah, sementara ini difasilitasi Disperindag dan Diskop-UM, termasuk melibatkan perguruan tinggi," kata Alief.

Batik Satrio merupakan salah satu UKM di Banyuwangi yang sudah menerapkan SNI. Meski pernah bekerja di UKM batik di Bali, Nanang Edi Supriyono masih harus memperbaiki manajemen produksi ketika harus mengikuti sertifikasi SNI untuk usaha pribadinya.

Bermodal gaji tiga bulan terakhir setelah ia keluar kerja dari Bali, ia membuka usaha batik di desanya pada 2000. Lima belas tahun kemudian, ketika pada Oktober 2015 dikunjungi Kepala BSN Bambang Prasetya, usaha batiknya ternyata dinilai belum memenuhi standar mutu.

Usahanya bahkan pernah hampir bangkrut. Karenanya, setelah mendapat kunjungan BSN itu, ia berkomitmen menerapkan SNI. Delapan bulan ia perlukan untuk membenahi banyak hal, termasuk mengelola limbah secara benar.

Setelah dapat SNI dan bantuan modal dari PT PNM, Batik Satrio menggeliat lagi. "Pembelinya dari kantor dan lembaga pemerintah di Jakarta. Banyak tamu hotel yang berkunjung ke Pantai Pulau Merah mampir membeli batik saya," ujar Nanang.

photo
Nanang Edi Supriyono di bengkel Batik Satrio miliknya di Banyuwangi. (Foto: Priyantono Oemar/ Republika)

Kunjungan Kepala BSN pada 2015 itu menguatkan Nanang tentang pentingnya produk berstandar. Sekretaris Utama BSN Puji Winarni mengatakan SNI merupakan standar yang ditetapkan BSN untuk melindungi masyarakat terkait kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan.

"Pentingnya penerapan SNI karena menyangkut persaingan lokal maupun global, dan harapannya, SNI bisa semakin mendorong ke arah itu," ujar Puji Winarni di stand BSN di Ritech Expo 2018 Pekanbaru, Senin (9/8). Sebelumnya, di seminar di Pluit, Kepala BSN Bambang Prasetya menegaskan standardisasi mendukung hal-hal yang disukai masyarakat, seperti keamanan, keteraturan, kepastian, dan sebagainya.

Penerapan SNI, menurut Ashari, memerlukan komitmen tinggi. Maka, pada Juni lalu, untuk menjaga komitmen penerapan SNI, Ashari mendatangkan BSN untuk workshop SNI sistem manajemen lingkungan di bengkel mesin laundry-nya.

Ashari memberi tahu, bagi UKM yang ingin menerapkan SNI, bisa mendaftar secara daring ke BSN. BSN memiliki daftar lembaga standardisasi produk atau lembaga penilaian kesesuaian yang bisa didatangi.

Namun, ia mengingatkan untuk terlebih dulu bertukar pikiran dengan mereka yang sudah terlebih dulu menerapkan SNI. "Paling bagus ketemu dengan yang sudah menerapkan sehingga terbuka inspirasi," ujar Ashari.

Untuk meningkatkan daya saing, menurut Ashari, sudah selayaknya UKM menerapkan SNI. "Melakukan standardisasi itu menjadi lebih produktif dan terkontrol, kualitas produksi juga terjaga," ujar Ashari.

Perlu Dukungan Pemda

Kepala Bidang Pemasyarakatan Standardisasi BSN Nurhidayati mengakui sosialiasi dalam setahun bisa dilakukan BSN sebanyak 30 kali. Sosialiasi itu mencakup kuliah umum kepada akademisi, sosialiasi kepada aparat pemerintah/pemda, sosialisasi kepada pelaku usaha, dan edukasi SNI kepada masyarakat selaku konsumen. 

Nurhidayati mendapati besarnya animo berbagai kalangan terhadap sosialiasi ini. Bahkan, mereka berharap jadwal sosialiasi lebih ditingkatkan lagi. Karenanya, Nurhidayati berharap pemerintah daerah mendukung program ini agar sosialiasi terus berjalan di berbagai daerah.

"Sosialisasi dilakukan dengan sinergi, mengingat keterbatasan dana alokasi untuk sosialisasi," ujar Nurhidayati, di Jakarta, Jumat (24/8).

Kerja sama perlu ditingkatkan di luar Jawa. Terlebih masih minimnya lembaga penilaian kesesuaian (LPK) di luar Jawa. Menurut Nurhidayati, diperlukan upaya pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan jumlah LPK di luar Jawa.

"Saat ini pelaku usaha di luar Jawa ketika harus melakukan sertifikasi harus ke Jawa, sehingga menaikkan biaya sertifikasi," ujar Nurhidayati.

Dari segi jumlah, jumlah LPK sudah mencukupi, cuma persebarannya yang belum merata. Saat ini, kata Nurhidayati, ada 1.221 laboratorium uji, 260 laboratorium kalibrasi, 16 penyelenggara uji profisiensi (PUP), 61 laboratorium medik, 122 lembaga inspeksi, dan 68 lembaga sertifikasi produk (LSPro). 

Untuk produk yang penerapan SNI-nya dilakukan sukarela, jumlah dan persebaran LPK tentu memerlukan penambahan. Hal ini penting untuk mendukung produk unggulan di daerah agar bisa memenuhi standar nasional.

"LPK yang dikembangkan di daerah bisa mendukung produk lokal di daerahnya masing-masing," kata Nurhidayati.

Perlunya pemerataan persebaran LPK diakui Maryani. Jarak yang jauh, menurut Maryani, membuat pelaku UKM perlu waktu lama dan biaya lebih. "Sampel yang dibawa untuk diuji di laboratorium pun berisiko rusak dan gagal dalam hasil karena jarak yang jauh," ujar Maryani.

Setelah mendapat SNI, kata Maryani, setiap enam bulan ada petugas dari LSPro yang mengevaluasi produk bandengnya. Sampel bahan baku dan produk dibawa ke laboratorium di Makassar, berjarak 208 kilometer dari tempat usahanya.

"Sebaiknya di setiap daerah ada LSPro dan laboratorium penguji yang telah diakui standarnya agar UKM-UKM di daerah dapat tahu begitu pentingnya sertifikasi. Supaya minimal berproduksi sehat dan bersih," ujar Maryani.

photo
Proses Sertifikasi SNI. (Foto: Dokumentasi BSN)

UKM di Provinsi Riau termasuk yang beruntung. Menurut catatan BSN, di Riau sudah ada 23 laboratorium uji dan satu balai pengujian dan sertifikasi mutu barang yang dikelola Disperindag Riau. Pemprov Riau pun menjalin kerja sama dengan BSN.

"Ini sangat membantu pengembangan produk yang ada di Riau ke depan," ujar Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman, Senin (3/9).

Untuk mendukung UKM di Riau bisa bersaing di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) itulah BSN dan Pemprov Riau menandatangani nota kesepakatan pembinaan dan pengembangan standardisasi dan penilaian kesesuaian pada Senin (3/9). "Untuk membina pelaku usaha, khususnya UMKM dalam penerapan SNI, kami menyiapkan kantor layanan teknis (KLT) di Riau," ujar Kepala BSN Bambang Prasetya.

Pemerintah Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat, juga menjadi salah satu pemda yang bersinergi dengan BSN untuk penerapan standardisasi dan penilaian kesesuaian. Pada akhir Juli 2018, BSN dan Pemkab Sijunjung meneken nota kesepakatan bersama mengenai hal itu.

BSN akan mendampingi Pemkab Sijunjung dalam penerapan SNI ISO 9001:2015 tentang sistem manajemen mutu. Kepala BSN Bambang Prasetya juga menantang Bupati Sijunjung untuk berani menerapkan ISO SNI 18091:2014, yaitu standar sistem pemerintahan daerah. Menurut Bambang, jika Sijunjung bisa menerapkan, hal ini bisa menginspirasi pemkab lain, sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat terlaksana.

Kerja sama ini juga meliputi penguatan UKM agar UKM di Sijunjung bisa menerapkan SNI. "Standardisasi merupakan persyaratan agar produk-produk kami dapat diterima secara umum oleh masyarakat," ujar Bupati Sijunjung Yuswir Arifin di acara penandatangan nota kesepakatan itu di Jakarta.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement