Kamis 06 Sep 2018 04:45 WIB

Rupiah Anjlok, Bhima: Utang Bengkak Rp 11,8 Triliun

Pelemahan rupiah juga membuat utang swasta membengkak.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas menghitung uang pecahan dolar Amerika Serikat di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Selasa (4/9). Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS melemah menjadi Rp14.940 per dolar AS pada perdagangan hari ini.
Foto: Rivan Awal Lingga/Antara
Petugas menghitung uang pecahan dolar Amerika Serikat di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Selasa (4/9). Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS melemah menjadi Rp14.940 per dolar AS pada perdagangan hari ini.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar yang hampir menyentuh angka psikologis di Rp 15 ribu per 1 dolar AS menambah beban utang jatuh tempo pemerintah tahun ini.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adinegara menyebut akibat terus melemahnya rupiah utang jatuh tempo pemerintah akhir tahun 2018 ini membengkak Rp 11,8 triliun.

Ia merujuk berdasarkan data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) yang dimiliki BI. Kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah yang jatuh tempo pada akhir 2018 mencapai 9,1 miliar dolar AS. Jumlah ini terbagi menjadi 5,2 miliar dolar AS utang pokok dan 3,8 miliar dolar AS berupa bunga.

Baca juga, Rupiah Mata Uang Berkinerja Terburuk Kedua di Asia.

Jika asumsi masih menggunakan kurs Rp 13.400 per 1 dolar AS, sesuai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maka pemerintah wajib membayar Rp 121,9 triliun. Namun ia mengingatkan dengan kurs sekarang di kisaran Rp 14.700 per 1 dolar AS, beban pembayaran melonjak menjadi Rp 133,7 triliun.

"Ada selisih pembengkakan akibat selisih kurs sebesar Rp11,8 triliun," kata Bhima kepada wartawan, Rabu (5/9).

Ia memaparkan jumlah penambahan utang jatuh tempo akibat selisih kurs sejumlah Rp 11,8 triliun tersebut setara 20 persen dari alokasi dana desa. "Seharusnya dana ini bisa dibuat belanja produktif tapi malah habis untuk bayar selisih kurs. Itu kerugian bagi APBN," tegas Bhima.

Kemudian bagaimana dengan utang swasta, akibat pelemahan rupiah terhadap dolar ini. Bhima menyebut secara jujur utang swasta ini menambah pelik bagi pemerintah. Imbas pelemahan rupiah membuat swasta akan kesulitan membayar cicilan pokok dan bunga Utang Luar Negeri (ULN). Swasta membayar ULN dengan dolar sementara pendapatan usaha dari rupiah.

Menurutnya, beban selisih kurs bisa dihitung sederhana. Per Juni tahun 2018 berdasarkan data BI total ULN swasta jangka pendek dibawah 1 tahun mencapai 45,9 miliar dolar AS. Jika awalnya mereka meminjam dengan kurs spot 13.300 maka beban kewajiban nya sebesar Rp 610,4 triliun.

Sementara dengan kurs spot 14.700 naik jadi Rp 674,7 triliun. Kewajiban bayar utangnya dalam setahun bengkak Rp 64,3 triliun. "Angka ini terus meningkat seiring proyeksi kurs diperkirakan Rp 15 ribu per dolar AS pada akhir 2018," ungkapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement