EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom INDEF, Dradjad Wibowo mengatakan kembali menguatnya rupiah terhadap dolar adalah fluktuasi yang biasa. Ini terjadi karena bank sentral melakukan intervensi dengan melepas devisa.
"Saya cek di monitor memang BI baru saja intervensi," kata Dradjad kepada Republika.co.id, Kamis (6/9).
Jika pasar percaya bahwa pemerintah sanggup mengatasi masalah defisit, kata Dradjad, intervensi itu bisa membuat Rupiah stabil. Jika pasar tidak percaya, intervensi BI itu seperti menggarami laut.
Masalahnya, kata Dradjad, kurs forward masih bertahan di atas Rp.15000,- bahkan di bank-bank domestik. Tanpa menyebut banknya, kurs forward 1 bulan di salah satu bank besar saat saya menulis ini, kata Dradjad, masih Rp.15.020-Rp.14.930 /USD (sell-buy). Untuk tenor 3 bulan Rp.15.150-Rp.15.050/USD, untuk 6 bulan Rp.15.350-Rp.15.210/USD.
"Di pasar luar negeri, kurs forward Rupiah malah lebih lemah dibanding di bank domestik," papar Dradjad.
Forward rates itu dikenal sebagai unbiased predictors of future spot rates. Memang pandangan ini, menurut Dradjad, masih terus menjadi debat dalam riset akademis, dengan menggunakan berbagai model. "Ada yang hasilnya menunjukkan tingkat akurasi yang tinggi dari forward rates, ada yang lebih rendah," ungkapnya.
Tapi pelaku pasar, menurut Dradjad, melihat forward rates sebagai cerminan dari ekspektasi. "Jadi data di atas artinya, pelaku pasar masih berekspektasi Rupiah akan tetap melemah hingga 6 bulan ke depan. Bahkan, bank domestik pun berekspektasi sama," papar pakar ekonomi ini.
Jadi, lanjut Dradjad, pemerintahan Presiden Jokowi memang harus melakukan langkah terobosan radikal. Pasar masih tidak percaya kepada tim ekonomi Jokowi. "Ini bukan pernyataan politik. Ini realitas pasar per detik ini," paparnya.