EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah mengendalikan impor barang-barang konsumsi sebagai salah satu strategi untuk menanggulangi defisit transaksi berjalan dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Menurut data Bank Indonesia yang dikutip di Jakarta, Jumat, (7/9), defisit transaksi berjalan telah mencapai 13,7 miliar dolar AS selama semester I-2018. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 25 miliar dolar AS hingga akhir tahun.
Pertumbuhan impor mencapai 24,5 persen hingga Juli 2018 (year-to-date/ytd), atau lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekspor yang sebesar 11,4 persen pada periode yang sama. Hal ini menjadi salah satu penyebab defisit transaksi berjalan.
Defisit transaksi berjalan dalam dua tahun terakhir mencapai sekitar 17 miliar dolar AS pada 2016 dan 17,3 miliar dolar AS (2017). Defisit tersebut diimbangi oleh neraca transaksi modal dan finansial yang berada pada kisaran 29 miliar dolar AS pada 2016 dan 2017.
Hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah transaksi modal dan finansial sepanjang semester I-2018 melalui investasi langsung, portofolio dan lainnya terpantau belum mampu mengimbangi defisit neraca transaksi berjalan.
Surplus neraca transaksi modal dan finansial hanya mencapai 6,5 miliar dolar AS hingga semester I-2018, dan hingga akhir tahun diperkirakan hanya sekitar 13 miliar dolar AS.
Risiko arus modal keluar masih akan membayangi sebagai akibat dari kebijakan selanjutnya terkait kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS. Oleh karena itu, pemerintah memandang bahwa strategi pengendalian impor dibutuhkan untuk tidak semakin memperlebar defisit neraca transaksi berjalan terutama dari sisi perdagangan barang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengeluarkan peraturan yang menyesuaikan kembali ketentuan mengenai besaran pemungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 atas impor barang-barang tertentu.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2018 yang mengatur mengenai hal tersebut telah ditetapkan pada 5 September 2018 dan diundangkan 6 September 2018. Aturan tersebut mulai berlaku tujuh hari terhitung setelah tanggal diundangkan.
Penyesuaian tarif PPh Pasal 22 dilakukan terhadap 1.147 pos tarif. Tinjauan dari penyesuaian tarif tersebut mempertimbangkan kategori barang konsumsi, ketersediaan produk dalam negeri, dan perkembangan industri nasional. Tarif PPh impor untuk 719 item komoditas akan naik dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen. Jenis barang yang termasuk kategori ini adalah produk tekstil, ban, keramik, kabel, dan boks speaker.
Selanjutnya, 218 komoditas naik dari 2,5 persen menjadi 10 persen. Komoditas yang termasuk adalah barang konsumsi yang sebagian besar telah diproduksi dalam negeri. Contohnya barang elektronik (pendingin ruangan, lampu) dan barang keperluan sehari-hari.
Terakhir, sebanyak 210 komoditas naik dari 7,5 persen menjadi 10 persen. Komoditas yang termasuk adalah barang mewah seperti mobil yang diimpor secara utuh (completely built-up/CBU) dan motor besar.
Pemerintah juga menetapkan, tarif PPh impor bagi 57 komoditas tetap 2,5 persen karena diidentifikasi memiliki peranan besar untuk pasokan bahan baku, sehingga tidak diubah kebijakannya.
Baca juga, Rupiah Melemah, Menkeu: Kita Seleksi Impor.
Sebanyak 1.147 komoditas yang disesuaikan tarif PPh impornya tercatat memiliki nilai impor 6,6 miliar dolar AS pada 2017. Sementara dari Januari hingga Agustus 2018 tercatat memiliki nilai impor 5,0 miliar dolar AS. Tanpa penyesuaian, nilai impor sepanjang 2018 diperkirakan meningkat signifikan.
Sri Mulyani memperkirakan penerapan PPH impor terhadap 1.147 pos tarif tersebut akan mampu menurunkan impor sebesar dua persen apabila perlakuannya dianggap sama dengan bea masuk.
"Kalau kita lihat mekanisme yang terjadi sekarang ini dalam perekonomian, di mana dolar yang makin mahal, dengan tarif ini kami berharap penurunan impor akan jauh lebih besar," kata Menkeu.
Pengendalian impor melalui penyesuaian PPh bukan merupakan kebijakan yang baru pertama kali dilakukan oleh pemerintah, karena kebijakan serupa pernah dilakukan pada 2013 dan 2015.
Pada 2013, pemerintah menerbitkan PMK Nomor 175/PMK.011/2013 untuk mengendalikan impor setelah Taper Tantrum. Ketika itu pemerintah menaikkan tarif PPh Pasal 22 atas 502 item komoditas konsumsi dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen.
Kemudian pada 2015, pemerintah melanjutkan kebijakan ini dengan menerbitkan PMK Nomor 107/PMK.010/2015 yang menaikkan tarif PPh Pasal 22 atas 240 item komoditas konsumsi dari 7,5 persen menjadi 10 persen atas barang konsumsi tertentu yang dihapuskan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Kesempatan industri
Kebijakan pengendalian impor melalui penyesuain tarif PPh Pasal 22 diharapkan mampu dimanfaatkan oleh pengusaha dalam negeri untuk menyediakan barang subtitusi bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto meyakini pengendalian impor barang konsumsi mampu memacu geliat industri di dalam negeri. "Misalnya saja di industri otomotif, kita sudah bisa memproduksi di dalam negeri jadi tidak perlu lagi impor," ujar Airlangga.
Pemberlakuan pengendalian impor untuk 1.147 pos tarif melalui PMK 110/2018 masih akan disesuaikan dengan dinamika perkembangan perekonomian. Apabila perkembangan perekonomian global dinilai mengarah ke perbaikan, maka beberapa barang impor dapat dikeluarkan dari daftar impor yang dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 untuk tarif tertentu.
Sebaliknya, apabila perekonomian masih mengalami turbulensi sehinga memunculkan potensi penurunan permintaan global, maka daftar pos tarif tersebut akan kemudian dilihat efektivitasnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai kebijakan pengendalian impor barang konsumsi tetap harus memerhatikan masukan dari para pelaku usaha. Prastowo berpendapat perlu adanya peran satuan tugas untuk merespons masukan dari para pelaku usaha terkait pengendalian impor.
"Ini tidak semua bisa ter-capture pos tarifnya. Kalau satgas berjalan, ada yang direvisi lampirannya bisa dikeluarkan atau ditambah jumlah barangnya," ujar Prastowo.
Ia juga menegaskan bahwa isu yang diangkat dalam upaya pengendalian impor tersebut bukan mencari uang untuk penerimaan pajak. "Tetapi itu merupakan langkah pengendalian impornya menggunakan instrumen pajak. Bahwa orang tetap mau impor, konsekuensinya membayar pajak lebih besar," kata Prastowo.