EKBIS.CO, NUSA DUA -- Pemerintah terus mendorong pelaku industri rokok melakukan diversifikasi produk demi kepentingan bersama. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro mengatakan rokok merupakan sunset industry, meski keberadaannya tak akan hilang 100 persen.
"Kita terus mendorong grup-grup perusahaan besar dalam negeri untuk melakukan diversifikasi produknya sebagai langkah alami melepas ketergantungan Indonesia dengan rokok," kata Bambang dijumpai di sela Konferensi Asia Pasifik untuk Tembakau dan Kesehatan ke-12 (APACT12th) di Nusa Dua, Bali, Kamis (13/9).
Bambang mencontohkan sudah banyak pelaku industri rokok terjun ke sektor keuangan, properti, dan atau memproduksi komoditas alternatif selain tembakau. Industri rokok saat ini tidak lagi padat karya, tapi padat mesin, sehingga potensi karyawan dapat dioptimalkan ke arah lainnya.
"Sekarang sebagian besar kan sudah pakai mesin, tidak linting lagi, sehingga kebutuhan karyawan berkurang. Karyawan bisa dimaksimalkan bekerja di sektor lain dan bisnis perusahaan lain," ujar Bambang.
Indonesia berkomitmen pada Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sebagai payung hukum untuk seluruh program pemerintah. Bambang mengatakan pengendaian tembakau menjadi agenda nasional dan utama dalam kebijakan dan strategi nasional.
Intervensi pada pengendalian tembakau memberi efek ganda untuk seluruh pencapaian tujuan SDGs.
Tujuan akhirnya adalah mengentaskan kemiskinan dan kelaparan akibat risiko kematian dan dampak negatif produk tembakau terhadap kesehatan, meningkatkan kualitas pendidikan, kesetaraan gender, pekerjaan layak, mengurangi kesenjangan sosial, lingkungan bebas polusi, serta konsumsi dan produksi bertanggung jawab.
Kementerian PPN, sebut Bambang sudah menerjemahkan pengendalian tembakau ke dalam agenda nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Targetnya adalah mengurangi prevalensi merokok di kalangan perokok berusia 18 tahun ke bawah hingga 5,4 persen pada 2019.
Pengendalian konsumsi rokok membantu masyarakat, khususnya perokok aktif mengalokasikan pendapatan mereka ke konsumsi produktif, sehingga mengurangi kemiskinan. Bambang mencontohkan jumlah kerugian makroekonomi tembakau pada 2013 mencapai Rp 378,75 triliun, jauh lebih besar dari cukai rokok pada tahun sama, yaitu Rp 103,02 triliun.
Polemik tembakau di Indonesia diakui Bambang memerlukan intervensi holistik dan komprehensif, dimulai dari kebijakan pertumbuhan, manufaktur, pengemasan, pelabelan, pemasaran, pajak, harga pembelian, penggunaan produk, hingga pengurangan produksi tembakau. Oleh sebabnya penyelarasan prioritas multisektoral, seperti kesehatan, pertanian, industri, perpajakan, komunikasi, dan media mengambil peran dalam strategi pengendalian tembakau ini.