EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengusulkan lifting minyak dan gas (migas) untuk Rencana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (RAPBN) tahun 2019 sebesar dua juta barrel oil equivalent per day (BOEPD). Nilai ini lebih tinggi dari harga minyak mentah 2018 yang sebesar 1,921 juta BOEPD.
"Lebih tingginya lifting migas tersebut justru membuat biaya produksi (cost recovery) yang tercatat 10,22 miliar dolar AS menjadi lebih rendah dari outlook tahun 2018, yaitu sebesar 11,34 miliar dolar AS," demikian data yang dihimpun dari Kementerian ESDM, Jakarta, Sabtu (15/9).
Usulan ini selanjutnya akan dibahas lebih lanjut dan ditetapkan pada Rapat Kerja hari Senin, (17/9). Sampai saat ini, realisasi lifting migas mencapai 1,921 juta BOEPD, outlook-nya 1,902 juta BOEPD.
"Dan untuk RAPBN 2019 diusulkan lifting migas sebesar 2 juta BOEPD dengan biaya produksi 10,22 miliar dolar AS, dengan kurs sebesar Rp 14.400 per dolar AS," ujar Jonan.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, realisasi cost recovery hingga akhir agustus 2018 sebesar 7,77 miliar dolar AS dan outlook-nya sebesar 11,34 miliar dolar AS. Untuk mengurangi cost recovery ini, menurut Jonan, tidak banyak yang bisa dilakukan, paling banyak sepertiga atau 40 persen karena sisanya merupakan sisa bawaan dari masa kontraknya puluhan tahun yang lalu.
Sementara itu, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amin Sunaryadi menambahkan, lifting minyak bumi akan didominasi oleh 12 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Di antaranya PT Chevron Pacific Indonesia, Mobil Cepu LTD, PT Pertamina EP dan Pertamina Hulu Energi yang menghasilkan lifting hingga 88 persen dari lifting minyak nasional.
"Lifting minyak bumi hingga akhir Agustus 2018 sebesar 774.425 BOPD atau 97 persen dari target, SKK Migas menetapkan prakiraan untuk 2019 sebesar 750 ribu BOPD," ujar Amin.
Prakiraan 2019 itulah yang nanti pada Oktober hingga pertengahan bulan Desember 2018 akan dibahas secara detail. Pembahasan mencakup perincian rencana kerja sehingga diketahui berapa biaya yang akan menjadi cost recovery, termasuk produksi dan besar lifting-nya.
Sejak 2013 hingga 2018, realisasi cost recovery selalu melampaui target yang sudah ditetapkan. Namun, untuk tahun depan, Amin menegaskan akan berkurang karena sebagian kontrak migas skema production sharing contract (PSC) cost recovery berubah menjadi PSC gross split.
"Saat ini yang sudah efektif menggunakan skema gross split, Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ dan yang baru akan mulai yaitu PHE Tuban dan PHE Ogan Komering. Nanti satu triwulan lagi akan ditambah dengan Sanga-Sanga dan South East Sumatera. Diharapkan penerapan skema gross split akan menurunkan biaya cost recovery," jelas '/.o'Amin.
Ditambahkan Amin, komponen cost recovery terbagi menjadi beberapa komponen. Komponen terbesar cost recovery hingga Agustus 2018 ini adalah current year operating cost yakni sebesar 76,8 persen.
"Current year operating cost terbagi menjadi cost untuk produksi 67 persen, biaya untuk pengembangan 14 persen, biaya umum dan administrasi 10 persen, biaya untuk eeksplorasi 9 persen," tambah Amin.