EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) memberi imbauan kepada para pelaku usaha (stakerholder) untuk bersama-sama menjaga iklim usaha perunggasan yang lebih kondusif. Hal itu terkait penurunan harga ayam broiler atau pedaging hidup di tingkat peternak karena kelebihan pasokan.
“Terkait kelebihan pasokan yang terjadi saat ini, kita mendorong kepada semua pelaku usaha untuk melakukan upaya pemotongan, penyimpanan, dan pengolahan sebelum dijual ke pasaran,” kata Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) I Ketut Diarmita dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id.
I Ketut menyatakan, pasar untuk komoditi unggas di Indonesia saat ini didominasi komoditas segar (fresh commodity), sehingga produk mudah rusak. Kecepatan distribusi dan keseimbangan pasokan dan permintaan (supply and demand) menjadi faktor penting penentu harga. Untuk itu, I Ketut berharap agar hasil usaha peternak tidak lagi dijual sebagai ayam segar, melainkan dalam ayam beku, ayam olahan, ataupun inovasi produk lainnya.
“Kami meminta kepada pelaku usaha untuk melakukan pemotongan di Rumah Potong Hewan Unggas (RPUH), dan memaksimalkan penyerapan karkas untuk di tampung dalam cold strorage, sebagai cadangan jika sewaktu-waktu dibutuhkan,” imbaunya
I Ketut berharap mulai Jumat, (28/9) harga ayam di tingkat peternak (farm gate) dapat kembali normal.
Untuk wilayah Jabodetabek, I Ketut berharap ayam live bird (ayam broiler hidup) dengan berat 1,8 kg/ekor sampai dengan 2,2 kg/ekor dijual dengan harga minimal Rp16 ribu dan bertahap akan naik hingga menjadi Rp17 ribu. Untuk wilayah Tasik, Priangan, Bandung, Subang, I Ketut berharap bisa mencapai harga Rp15 ribu hingga Rp16 ribu. Sedangkan Jawa Tengah setidaknya dapat mencapai Rp14.500 hingga Rp16 ribu. Harga di Jatim diharapkan dapat mencapai Rp16 ribu hingga Rp16.500, sedangkan Lampung mencapai kisaran Rp16 ribu hingga Rp17 ribu.
“Dengan naiknya harga ayam broiler hidup secara bertahap diharapkan awal bulan Oktober 2018 sudah dapat mencapai harga sesuai dengan harga acuan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan,” tutur I Ketut.
I Ketut menjelaskan, kondisi daging ayam nasional tahun ini mengalami surplus, bahkan sudah ekspor. Potensi produksi karkas 2018 berdasarkan realisasi produksi DOC (Januari-Juni 2018) dan potensi (Juli-Desember 2018) sebanyak 3.382.311 ton dengan rataan perbulan sebanyak 27.586 ton. Sedangkan proyeksi kebutuhan daging ayam (karkas) 2018 sebanyak 3.051.276 ton, dengan rataan kebutuhan per bulan sebanyak 254.273 ton.
“Produksi kita berlebih ini kan justru yang kita cari. Daripada produksinya kurang, ini yang justru berbahaya. Kelebihan produksi ini yang kita sasar untuk tujuan ekspor, ini yang selalu kami himbau ke perusahaan integrator untuk terus menggenjot ekspor,” ujarnya.
I Ketut mengatakan, saat ini Indonesia sudah ekspor telur tetas ayam ras ke Myanmar, DOC (Day Old Chicken) ke Timor Leste, dan produk daging ayam olahan ke Jepang, Papua New Guinea (PNG), serta Myanmar. Pemerintah saat ini juga terus berupaya untuk mendorong peningkatan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia yang masih rendah.
“Dengan meningkatnya konsumsi protein hewani, maka akan berdampak terhadap peningkatan permintaan produk hewan, termasuk daging unggas, sehingga dapat menyerap pasokan unggas di dalam negeri,” pungkasnya.