Rabu 03 Oct 2018 06:40 WIB

Kontraktor Diimbau Pakai Produk Lokal

Banyak produk lokal yang diekspor ke luar negeri tapi tak laku di dalam negeri.

Red: Friska Yolanda
Pekerja elevated rail MRT di salah satu tiang MRT  di Kawasan MT Haryono, Jakarta, Kamis (5/4). Pembangunan konstruksi infrastruktur MRT Jakarta akan terus berjalan hingga akhir 2018. Secara keseluruhan proyek-proyek ini telah mencapai 90%.
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Pekerja elevated rail MRT di salah satu tiang MRT  di Kawasan MT Haryono, Jakarta, Kamis (5/4). Pembangunan konstruksi infrastruktur MRT Jakarta akan terus berjalan hingga akhir 2018. Secara keseluruhan proyek-proyek ini telah mencapai 90%.

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Dirjen Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarief Burhanuddin menginginkan berbagai perusahaan kontraktor nasional dapat menggunakan material lokal. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada impor.

"Kita kadang-kadang masih impor, tetapi padahal semen itu kondisinya kelebihan pasokan dan tidak akan habis dalam jangka waktu setidaknya enam tahun ke depan," kata Syarief Burhanuddin di Jakarta, Selasa (2/10).

Menurut dia, sudah seharusnya ada kebijakan untuk menutup impor untuk komoditas semen. Ini bertujuan agar industri semen nasional juga bisa bangkit kembali ke depannya. 

Ia mengakui bahwa ada sejumlah komoditas aspal buton yang tidak begitu disukai kontraktor. Padahal, komoditas tersebut banyak diekspor antara lain ke Cina.

Untuk itu, lanjutnya, perlu dipikirkan cara efektif guna memanfaatkan potensi material yang diproduksi di dalam negeri, seperti baja. "Kita impor baja, tetapi banyak pula baja yang diproduksi di dalam negeri tidak dibeli karena alasannya mahal," ungkapnya. Syarief menambahkan, untuk itu perlu dicari tahu mengapa harga baja dalam negeri bisa lebih mahal padahal kualitasnya relatif sama, sehingga hal tersebut juga perlu dijadikan pembelajaran.

Sebelumnya, Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menyarankan pemerintah untuk mengkaji kembali penaikan tarif pajak penghasilan (PPh) barang impor berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110 Tahun 2018. Menurut dia, kebijakan itu belum cukup signifikan dalam mengendalikan nilai tukar rupiah karena produk yang dikenakan tarif pajak adalah produk barang konsumsi.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada Januari-Juni 2018, nilai rata-rata impor barang konsumsi hanya sebesar 9,2 persen dari seluruh nilai total impor. Sementara itu, lanjutnya, impor barang input atau raw material dan barang modal justru jauh lebih besar porsinya, yaitu berturut-turut sebanyak 74,6 persen dan 16,1 persen.

"Dengan diberlakukannya tarif impor pada barang konsumsi dampak yang akan dirasakan akan terlampau kecil. Di sisi lain, pemberlakuan aturan yang sama kepada dua jenis barang impor lainnya (barang mentah dan barang modal) dikhawatirkan akan mengurangi kemampuan daya saing industri di pasar internasional karena ujung-ujungnya akan menaikkan biaya produksi," ucapnya.

Ia mengusulkan agar pemerintah menggunakan opsi lain seperti memberikan insentif pajak bagi investor yang melakukan reinvestasi keuntungannya. Sehingga, stok mata uang asing akan tetap stabil dan dapat memengaruhi kestabilan cadangan devisa Indonesia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement