Kamis 04 Oct 2018 08:08 WIB

Saat Adaro Kurangi Pemakaian Dolar AS

Menteri Keuangan meminta agar transaksi dengan rupiah semakin diperkuat.

Red: Elba Damhuri
Deklarasi Peningkatan Transaksi Rupiah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) bersama Wakil Presiden Komisaris PT Adaro Energy Tbk Theodore Permadi Rachmat, Presiden Komisaris PT Adaro Energy Tbk Edwin Soeryadjaya, dan Presiden Direktur PT Adaro Energy Tk Garibaldi Thohir (dari ketiga kanan) berbincang usai penandatanganan nota kesepahaman terkait deklarasi bersama peningkatan transaksi rupiah di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Rabu (3/10).
Foto: Republika/ Wihdan
Deklarasi Peningkatan Transaksi Rupiah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) bersama Wakil Presiden Komisaris PT Adaro Energy Tbk Theodore Permadi Rachmat, Presiden Komisaris PT Adaro Energy Tbk Edwin Soeryadjaya, dan Presiden Direktur PT Adaro Energy Tk Garibaldi Thohir (dari ketiga kanan) berbincang usai penandatanganan nota kesepahaman terkait deklarasi bersama peningkatan transaksi rupiah di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Rabu (3/10).

Kembali melemah

Kurs rupiah kembali ditutup melemah terhadap dolar AS pada perdagangan Rabu (3/10). Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, rupiah berada di posisi Rp 15.088 per dolar AS. Nilai tersebut lebih lemah dibandingkan perdagangan Selasa (2/10) yang sebesar Rp 14.988 per dolar AS.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS tidak perlu dikhawatirkan karena juga dialami oleh mata uang negara-negara berkembang lainnya. "Jangan kita lihat kalau (kurs rupiah) Rp 15 ribu sudah kiamat. Kita bandingkan dulu dengan semua negara yang mengalami tekanan depresiasi," ujar Perry saat mengisi seminar di Jakarta, kemarin.

Perry mengingatkan, mata uang negara-negara berkembang, seperti Turki, Brasil, Afrika Selatan, India, dan Filipina, juga tertekan. Namun, tingkat pelemahan rupiah masih lebih baik daripada negara-negara tersebut. Perry menjelaskan, rupiah terdepresiasi 9,82 persen sejak akhir Desember 2017. 

"Bandingkan dengan Turki yang 37,7 persen, Brasil 17,6 persen, Afrika Selatan 13,8 persen, dan India 12,4 persen," katanya.

Ia menegaskan, pelemahan mata uang merupakan fenomena global yang terjadi karena respons pelaku pasar terhadap kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS dan terjadinya perang dagang. Salah satu upaya jangka menengah-panjang yang bisa dilakukan untuk menahan pelemahan rupiah adalah memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan.

Perbaikan neraca transaksi berjalan yang mengalami defisit tidak terlalu krusial dalam keadaan ekonomi normal, tetapi menjadi mendesak dalam keadaan penuh gejolak. "Ini yang membuat kita tidak bisa dibandingkan dengan Thailand karena mereka mempunyai surplus neraca transaksi berjalan hingga 54 miliar dolar AS sehingga mata uangnya relatif stabil," ujarnya. 

Perry yakin perbaikan defisit neraca transaksi berjalan dapat membuahkan hasil dan membantu menguatkan rupiah terhadap dolar AS pada 2019. 

(antara, ed: satria kartika yudha)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement