EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menilai, pemerintah tak seharusnya menahan kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium. Menurut dia, saat ini Pertamina sedang dalam keadaan defisit untuk menahan beban harga minyak dunia yang sedang tinggi.
Ia menjelaskan, secara ekonomi BBM memang seharusnya naik. Pasalnya, kata dia, harga minyak dunia saat ini mencapai US $ 80 per barel. Apalagi, harga dolar sedang tinggi.
"Sesuai hitungan presiden, BBM sekarang seharusnya RP 9.000-an dan pemerintah tidak beri subsidi, tapi Pertamina merogoh koceknya untuk mensubsidi itu," kata dia di Jakarta, Jumat (12/10).
Padahal, ia menegaskan, subsidi itu seharusnya diberikan oleh pemerintah. Namun kenyataannya, Badan usaha Milik Negara (BUMN) yang harus menanggungnya.
Artinya, Ferdinand melanjutkan, jika subsidi terus ditanggung Pertamina terus terganggu, rangkaian keuangan salah satu BUMN itu akan terus memburuk.
"Jadi kalau mau bicara ekononi sekarang, BBM ini harus naik. Jangan hanya karena mempertahankan elektabilitas terus ekonomi bangsa dipertaruhkan," ujar dia.
Ferdinand mengatakan, hal itu juga bisa berimbas pada nilai tukar rupiah yang akan terus melemah. Pasalnya, pasar melihat Indonesia tidak memiliki kemampuan mengelola sumber lain untuk membiayai negara.
"Nah ini pasar melihat kita sedang tidak punya kemampuan, jadi kalau BBM tidak dinaikkan harha, ya jangan kaget kalau dolar akan terus melambung sampai mungkin Rp 16 ribu, bukan khayalan," ungkap dia.
Sebelumnya, pemerintah menunda kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium. Kenaikan harga akan dibahas ulang menunggu kesiapan PT Pertamina.
"Sesuai arahan Bapak Presiden rencana kenaikan harga Premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 WIB hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasus Jonan di Bali, Rabu (10/10).
Drama premium yang (tak) jadi naik