EKBIS.CO, JAKARTA -- Setidaknya ada empat sasaran jangka panjang dalam peta jalan pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) fashion Muslim yang tengah dicanangkan pemerintah dan pelaku industri. Salah satunya, Indonesia menjadi kiblat fashion Muslim dunia pada 2020 yang sudah menjadi target sejak 2010.
Direktur Jendral Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Gati Wibawaningsih optimistis akan pencapaian target tersebut. Sebab, Indonesia unggul dari segi model dibanding negara pesaingnya seperti Turki dan Bangladesh.
"Terlihat dari keterlibatan desainer kita di panggung internasional," tuturnya ketika ditemui di Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Roadmap Pengembangan IKM Fashion Muslim di Jakarta, Selasa (16/10).
Sasaran kedua adalah Indonesia menjadi tiga besar eksportir fashion Muslim ke negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Saat ini, menurut State of The Global Islamic Economic 2017-2018. Indonesia masih berada di urutan ke-10 dengan nilai 366 juta dolar AS, turun dari posisi enam di tahun 2013, disalip oleh Vietnam, Uni Emirat Arab dan Kamboja. Pada 2020, ditargetkan peningkatan ekspor ke negara OKI menjadi 2 miliar dolar AS.
Sasaran berikutnya, industri fashion Muslim nasional menguasai pangsa pasar dalam negeri. Konsumsi domestik untuk fashion Muslim 90 persen dipenuhi dari industri dalam negeri yang sekarang baru tercapai kurang dari 50 persen. Terakhir, industri ini mampu menjadi kontributor dalam pembangunan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
Sementara itu, untuk sasaran jangka menengah, setidaknya ada enam aspek yang harus tercapai. Dari segi SDM, meningkatnya jumlah dan kompetensi SDM kreatif di sepanjang rantai nilai industri fashion Muslim dengan memaksimalkan peran universitas, bisnis dan asosiasi. Kedua, industri fashion Muslim nasional menjadi andalan di pasar ekspor dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri serta kemampuan dalam diversifikasi produk.
Selain itu, Gati menambahkan, terbentuknya pusat desain dan inovasi, proses produksi, pemasaran dengan memanfaatkan teknologi industri 4.0. Terjadinya forward dan backward linkage dalam rantai nilai industri fashion untuk menghasilkan nilai tambah yang tinggi.
Tidak kalah penting, terbentuknya ekosistem bisnis dan ekosistem kebutuhan konsumen melalui cobranding dan comarketing. "Terakhir, terciptanya kemudahan akses dan pembiayaan dari lembaga keuangan bank maupun bukan bank serta kemudahan berinvestasi," ucap Gati.
Founder dan CEO Hijup Diajeng Lestari menjelaskan, Indonesia memiliki kekuatan dari segi inovasi model dan sumber daya manusia yang melimpah. Saat ini, sudah banyak generasi muda yang berminat mengikuti pendidikan fashion secara formal dan nonformal.
Tapi, di samping itu, Indonesia masih lemah dari segi penyediaan bahan baku yang justru menjadi value chain paling awal. Industri manufaktur di Indonesia masih memiliki batasan minimal pemesanan yang sulit dipenuhi pelaku skala usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). "Jadinya, market kita saja yang unggul, tidak dengan produksinya," ujar Diajeng.
Diajeng menambahkan, regulasi pajak dari pemerintah masih terbilang menyulitkan pelaku untuk memulai usaha. Kebebasan impor yang menyebabkan produk luar negeri, terutama Cina, terus mendominasi pasar dan menutupi produk buatan pelaku lokal. Infrastruktur Indonesia yang masih dalam tahap pengembangan juga membuat harga produksi mahal karena terkendala dari segi pengiriman.