Selasa 16 Oct 2018 17:40 WIB

Sinergitas Pelaku, Tantangan Pengembangan Fashion Muslim

Produsen hanya memproduksi tanpa memperhitungkan ke mana produk dijual.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Fashion Show busana muslim yang ditampilkan para model memeriahkan acara Buka Bersama On The Road (Bubos) yang digelar Pemkot Bandung, di Jl Asia Afrika, Kota Bandung, Sabtu (2/6).
Foto: Irfan Risyadien
Fashion Show busana muslim yang ditampilkan para model memeriahkan acara Buka Bersama On The Road (Bubos) yang digelar Pemkot Bandung, di Jl Asia Afrika, Kota Bandung, Sabtu (2/6).

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Founder dan Komisaris Shafira Corporation Murzid Aziz Hilmi menyebutkan, ada tiga pihak pemangku kepentingan yang harus digaet dalam pola kemitraan untuk mengembangkan industri fashion Muslim Indonesia. Mereka adalah Industri Kecil dan Menengah (IKM), desainer dan industri pemasok bahan.

Tiap pihak memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing yang harus diperhitungkan dalam pola kemitraan ini. Untuk IKM, umumnya masih fokus pada produksi, sehingga tidak fokus dalam melihat potensi pasar. "Mereka senang membuat sesuatu, tapi belum memperhitungkan akan ke mana barang itu dijual," ujar Murzid dalam Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Roadmap Pengembangan IKM Fashion Muslim di Jakarta, Selasa (16/10).

Sering kali, pelaku IKM kerap kali menyampaikan permasalahan mereka adalah permodalan. Menurut Murzid, permasalahan tersebut sebenarnya hanya dimiliki sebagian pelaku, sementara sisanya memiliki persediaan yang mencukupi di gudang. Permasalahan utama mereka adalah lebih ke market profiling yang belum mereka kenali.

Selain itu, Murzid menambahkan, pelaku IKM masih banyak yang mengalam gagap teknologi (gaptek). Dengan generasi milenial sekarang, mereka sudah cenderung 'melek', namun masih untuk teknologi akses pasar. Sementara itu, untuk teknologi produksi, kebanyakan di antara mereka bersifat rumahan sehingga mesin-mesin seperti membuat lubang kancing masih bersifat tradisional.

Pihak berikutnya, desainer, terlalu fokus pada eksplorasi tapi kurang memperhatikan aspek wearable. Murzid menjelaskan, hal ini menjadi tantangan desainer yang seharusnya lebih mengerti keinginan dan kebutuhan pasar. "Dengan digitalisasi dan media sosial yang semakin berkembang, mereka sepatutnya memahami pasar lebih dalam," ujar Murzid.

Kemudian, dari sisi industri pemasok bahan, cenderung masih memikirkan tentang mininum order of quantity atau kuantitas minimal pesanan. Dampaknya, mereka akan sulit berhubungan dengan IKM yang masih terbatas dari segi produksinya.

Untuk menjembatani tiga pihak ini, Murzid menganjurkan pemerintah membentuk regulasi dan membantu dalam hal finansial. Kalau tidak segera dijembatani, dikhawatirkan tiga pelaku ini berjalan masing-masing dan target pengembangan industri fashion Muslim tidak terpenuhi. "Saat ini, belum ada aturan jangka panjang yang mampu membangun pola kemitraan ini," tuturnya.

Murzid menjelaskan, peraturan tingkat kementerian bisa menjadi solusi. Sebab, pengembangan industri fashion Muslim membutuhkan komponen paksaan yang dapat diimplementasikan melalui regulasi.

Sementara itu, Founder dan CEO Hijup Diajeng Lestari menjelaskan, Indonesia memiliki kekuatan dari segi inovasi model dan sumber daya manusia yang melimpah. Saat ini, sudah banyak generasi muda yang berminat mengikuti pendidikan fashion secara formal dan nonformal.

Tapi, di samping itu, Indonesia masih lemah dari segi penyediaan bahan baku yang justru menjadi value chain paling awal. Industri manufaktur di Indonesia masih memiliki batasan minimal pemesanan yang sulit dipenuhi pelaku skala usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). "Jadinya, market kita saja yang unggul, tidak dengan produksinya," ujar Diajeng.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement