Kamis 18 Oct 2018 12:48 WIB

FAO Perlu Aksi Mendesak Capai #ZeroHunger 2030

Orang yang menderita kurang makan kronis semakin meningkat.

Red: Gita Amanda
Warga mengangkut bantuan dari Bandara Ewer, Kabupaten Asmat guna disalurkan ke warga terdampak kekurangan gizi dan wabah campak.
Foto: Republika/Fitriyan Zamzami
Warga mengangkut bantuan dari Bandara Ewer, Kabupaten Asmat guna disalurkan ke warga terdampak kekurangan gizi dan wabah campak.

EKBIS.CO,  JEJANGKIT -- Bukti terus menunjukkan angka kelaparan terus meningkat selama hampir tiga tahun terakhir. Orang-orang di dunia yang menderita kurang makan kronis, telah meningkat dari sekitar 804 pada 2016 menjadi hampir 821 juta 2017, 11 persen dari populasi dunia atau setara dengan satu dari sembilan orang di planet.

Konflik, pengaruh cuaca ekstrem yang terkait dengan perubahan iklim, dan perlambatan ekonomi membalikkan kemajuan yang dibuat dalam perang melawan kelaparan. Namun, pertumbuhan jumlah orang yang kekurangan makanan bukanlah satu-satunya tantangan besar yang dihadapi. Proporsi obesitas atau kegemukan dewasa ini terus meningkat.

Pada 2016, orang yang menderita obesitas di dunia adalah 13, 3 persen (672, 3 juta orang) meningkat sekitar dua persen dari tahun dua persen. Pada 2017, juga ditemukan sekitar 1,5 miliar orang menderita “kelaparan yang tersembunyi” (hidden hunger). Makanan yang mereka makan, tidak memiliki vitamin dan mineral yang cukup dan dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan.

“Masalah kekurangan gizi masih tetap di banyak bagian di wilayah ini. Di Indonesia, Kantor Wakil Presiden menegaskan, baru minggu lalu, bahwa lebih dari sepertiga anak-anak di bawah usia lima tahun mengalami stunting. Angka yang terbilang tinggi untuk negara dengan status ekonomi seperti Indonesia,” ungkap Stephen Rudgard, FAO Representative di Indonesia mengatakan dalam pidatonya saat pembukaan Hari Pangan Sedunia di Indonesia, Kamis (18/10), seperti dalam siaran persnya.

Dalam laporan global terbaru tentang “Status Kerawanan Pangan dan Gizi-2018” ( SOFI 2018) yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia adalah negara di dunia yang menunjukkan prevalensi tinggi dalam ketiga bentuk kekurangan gizi anak. Seperti kelambatan pertumbuhan (stunting), kekurangan berat badan (wasting) dan kegemukan (obesity).

Data statistik mencerminkan penyebab utama kondisi tersebut adalah akses yang tidak memadai untuk mendapatkan makanan yang beragam dan bergizi. Produksi pangan dan ketersediaan pangan hanyalah salah satu faktor dari kondisi tersebut.

Stephen mengutip tema global untuk 2018 WFD tahun ini “Tindakan Kita adalah Masa Depan Kita, Dunia Tanpa Kelaparan 2030 Itu Mungkin”. Ia menekankan bahwa dengan ambisi #ZeroHunger datang hak dan tanggung jawab untuk menghargai makanan dan mengurangi sampah makanan dan pemborosan.

Kelaparan tidak selalu berarti ketersediaan atau produksi makanan yang tidak memadai. Indonesia kehilangan atau membuang sekitar 300 kilogram (kg) makanan per orang per tahun.

“Untuk mewujudkan visi tentang dunia bebas dari kelaparan dan kekurangan gizi menjadi nyata, kita semua harus bekerja bersama. Hal ini membutuhkan tidak hanya kepemimpinan oleh Pemerintah - tetapi semua orang harus berperan dan memberikan kontribusi, “ ujarnya.

Pemerintah meningkatkan produksi beras dalam memastikan ketahanan pangan. Secara global, produksi pangan harus digandakan pada tahun 2050 untuk memastikan ketersediaan pangan yang cukup dan memberi makan populasi lebih dari sembilan miliar.

Pada saat itu, penduduk Indonesia akan mencapai 300 juta ditambah dengan meningkatnya urbanisasi dan perubahan permintaan konsumen. Hal - hal ini akan memberi tekanan besar pada sistem pangan di Indonesia.

Stephen menyoroti fokus Pemerintah untuk Hari Pangan Sedunia tahun ini tentang optimalisasi lahan rawa pasang surut dan air tawar menuju Indonesia menjadi World Food Barn pada 2045. Butuh upaya yang cukup besar untuk menghadapi tantangan tersebut

FAO mencatat perkiraan Pemerintah bahwa ada sekitar 34 juta hektare rawa di Indonesia, dan lebih dari sembilan juta dari total lahan rawa tersebut memiliki potensi untuk produksi pertanian. Di Kecamatan Jejangkit saja, ada lebih dari 3.000 hektare yang dibudidayakan di bawah program baru.

“Kami melihat kepemimpinan pemerintah dalam hal ini, dan kami sangat senang bahwa Kementerian Pertanian mempromosikan penerapan praktik-praktik Pertanian yang baik terkait dengan penerapan model FAO untuk Intensifikasi Produksi Pangan yang berkelanjutan, termasuk mengurangi penggunaan pestisida melalui Pengendalian Hama Terpadu, “ katanya.

Dia juga menekankan bahwa peningkatan produktivitas sangat penting untuk memberi makan populasi yang berkembang. Namun, lebih penting lagi untuk memiliki pendekatan pertanian yang berkelanjutan dalam berbagai intervensi pertanian.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement