EKBIS.CO, JAKARTA -- Terbitnya data pangan baru Badan Pusat Statistik (BPS) hendaknya menjadi momentum untuk membuat kebijakan yang lebih baik dan menyejahterakan rakyat, termasuk petani. Demikian pendapat anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Khudori, menanggapi Data Pangan dengan Metode KSA yang baru saja diluncurkan Badan Pusat Statistik (BPS).
“Data dari metode pengumpulan data yang baru ini mesti disyukuri. Setelah ini mestinya tidak perlu ada lagi pro kontra dan polemik terkait data produksi padi dan beras”, ujar Khudori.
Apresiasi mesti diberikan kepada pemerintahan saat ini yang legawa merilis data baru. Jika pemerintahan saat ini hanya memikirkan elektabilitas dan pencitraan, tentu ini tak perlu dirilis karena potensial menggerus elektabilitas. Karena itu, rilis ini mestinya juga diapresiasi oleh pihak oposisi pemerintah.
“Tidak perlu ada yang merasa bersalah dan atau merasa sebagai pemenang setelah rilis data ini. Ini kesalahan kolektif, semacam "dosa turunan". Kesalahan sudah berlangsung selama puluhan tahun, setidaknya sejak 1997,” kata dia menambahkan.
Khudori berpendapat, jajaran Kementerian Pertanian (Kementan) dari pusat hingga daerah tidak perlu berkecil hati. Momentum ini mesti dijadikan langkah awal untuk merumuskan kebijakan yang lebih baik, yang tidak semata-mata berorientasi pada peningkatan produksi, tapi juga menyejahterakan rakyat.
Sementara itu, berdasarkan data BPS, Nilai Tukar Petani (NTP) per September 2018 naik mencapai 103,17 atau 0,59 perses dibandingkan periode Agustus 2018. Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) I Ketut Kariyasa menjelaskan, kenaikan indeks harga yang diterima petani menunjukan peningkatan kesejahteraan petani di Tanah Air.
"Nilai Tukar Petani merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di Indonesia. Semakin tinggi NTP secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan atau daya beli petani," ujar Kariyasa dalam keterangan persnya.
Ketut menambahkan, deflasi yang disebabkan penurunan harga bahan makanan juga menunjukan hasil upaya meningkatkan produksi komoditas pangan. Menurutnya, patut disyukuri bahwa pembangunan pertanian di Tanah Air terus menunjukkan hasilnya.
BPS juga mencatat pada September 2018 terjadi deflasi di perdesaan di Indonesia sebesar 0,59 persen yang disebabkan oleh kelompok bahan makanan cukup besar. Sementara indeks konsumsi rumah tangga lainnya naik. Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan, penurunan harga bahan makanan menjadi penyebab deflasi September 2018.
“Jenis bahan makanan yang mengalami penurunan harga di antaranya, daging ayam ras yang memberikan andil deflasi 0,13 persen. Kemudian penurunan harga bawang merah dan ikan segar yang masing-masing berikan andil 0,05 persen dan 0,04 persen“, ujarnya.
Beberapa sayuran, cabai rawit, dan telur ayam juga turun. Kondisi ini menunjukkan kecukupan dan ketersediaan bahan pangan yang mencerminkan naiknya produksi.