EKBIS.CO, JAKARTA -- Impor bahan baku dan barang penolong yang tinggi memberikan tekanan terhadap defisit transaksi berjalan. Sejauh ini, pertumbuhan impor bahan baku untuk kebutuhan industri tercatat mencapai sekitar 24,6 persen.
Impor bahan baku memberikan kontribusi sampai 75 persen terhadap total impor. Tapi, Sekretaris Jendral Kementerian Perindustrian Haris Munandar menjelaskan, impor bahan baku dan bahan penolong tidak dapat terhindarkan.
Sebab, keduanya memiliki fungsi signifikan untuk digunakan dalam kegiatan produksi manufaktur. "Nantinya, diharapkan dapat menghasilkan produk untuk pasar ekspor juga, di samping memenuhi kebutuhan domestik," tuturnya ketika ditemui di Tangerang, Kamis (25/10).
Untuk menekan defisit transaksi berjalan, pemerintah berupaya mendorong tingkat ekspor sembari mengembangkan industri 4.0 sesuai dengan peta jalan yang sudah dirilis pada April. Program ini menaruh fokus utama terhadap lima sektor industri utama berbasis ekspor. Sektor itu adalah industri makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, otomotif, kimia dan elektronik.
Haris menjelaskan, pemilihan lima sektor tersebut bukan tanpa alasan. Kelimanya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekspor, penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Diharapkan, seluruh sektor ini mampu menjadi motor sektor lain.
Menurut data Kemenperin, ekspor manufaktur pada tahun ini telah mencapai 63,01 miliar dolar AS atau naik 5,35 persen dibandingkan tahun lalu. Total itu memiliki andil terhadap total ekspor Indonesia sebesar 72 persen terhadap total ekspor nasional yang mencapai 88,02 miliar dolar AS.
Haris menambahkan, peningkatan daya saing lima sektor juga bisa tercapai seiring kemudahan investasi melalui sejumlah kebijakan. Di antaranya, penggunaan Online Single Submission (OSS), pengawasan dan pengamanan Devisa Hasil Ekspor (DHE) hingga meningkatkan Pusat Logistik Berikat sebagai media konsolidasi ekspor.
Haris menjelaskan, selain lima sektor unggulan, pemerintah terus berusaha mengenjot ekspor komoditas lain seperti minyak kelapa sawit dan kendaraan roda empat. "Intinya, maksimalkan komoditas yang ada sembari menambah yang baru," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengambangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian Ngakan Timur Antara memprediksi, Making Indonesia 4.0 mampu memangkas impor komponen industri. Di antaranya industri elektronika yang dapat menekan impor hingga 20 persen pada 2021. Sebab, sumber daya dimaksimalkan dari dalam negeri yang dihasilkan secara lebih efisien.
Menurut Ngakan, Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T) Bandung sebagai Unit Pelayanan Teknis (UPT) di bawah BPPI Kemenperin siap menyediakan sarana riset dan perekayasaan serta mendukung pelayanan standardisasi melalui laboratorium pengujian untuk komponen elektronika. Termasuk di antaranya resistor, switch dan relay, induktor, lilitan, serta baterai.
Ngakan menambahkan, B4T berkomitmen melakukan penguatan terhadap industri komponen elektronika di dalam negeri. Tujuannya, meningkatkan suplai bahan baku dasar domestik dan membangun kemampuan manufaktur komponen bernilai tambah tinggi. "Implementasi Making Indonesia 4.0 memfokuskan pada perbaikan aliran material dalam rangka mendukung proses produksi sektor manufakturnya sehingga mengurangi ketergantungan impor," katanya. .
Pemerintah, disampaikan Ngakan, juga berupaya menarik investasi industri elektronika kelas dunia melalui pemberian fasilitas insentif. Ini dilakukan sehingga manufaktur domestik dapat memiliki daya saing global.