EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menjelaskan, perlambatan ekspor pada kuartal III tahun 2018 secara year on year dibandingkan tahun lalu disebabkan dua hal. Pertama pertumbuhan industri yang sedang bermasalah dan penurunan penanaman modal asing (PMA).
Industri sebagai penopang pertumbuhan ekonomi cenderung turun pada kuartal ketiga. Kondisi ini terjadi pada lima industri prioritas, di antaranya makanan dan minuman serta farmasi. "Ini menjadi indikasi awal dari perlambatan ekspor," ujar Andry ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (6/11).
Kondisi ini semakin diperparah dengan penurunan investasi sepanjang tahun 2018, terutama untuk nilai penanaman modal asing (PMA). Terakhir, menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi PMA pada kuartal ketiga sebesar Rp 89,1 triliun. Angka tersebut menurun 20,2 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 111,7 triliun.
Andry menambahkan, anomalinya, penurunan itu berbanding terbalik dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). PMDN kuartal ketiga mencapai Rp 84,7 triliun atau meningkat 30,5 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang hanya Rp 64,9 triliun. "Ini membuktikan, minat asing untuk investasi ke Indonesia turun," tuturnya.
Proporsi PMA sendiri banyak ditanamkan di sektor manufaktur yang memiliki daya dorong besar dalam ekspor. Dengan menurunnya PMA, pertumbuhan industri manufaktur melambat hingga berdampak terhadap perlambatan ekspor.
Andry menilai, penyebab dari turunnya PMA bukanlah perang dagang antara Amerika dengan Cina seperti yang kerap disampaikan pemerintah. Lebih dari itu, faktor internal memiliki kontribusi besar.
"Kita masuk ke tahun politik, di mana investor wait and see untuk berinvestasi. Makanya, PMA kita turun dan industri melambat yang berdampak pada ekspor," ujarnya.
Terlepas dari itu, Andry mengatakan, poin paling mencemaskan adalah tingkat impor yang tinggi. Selama ini, impor dilakukan untuk mendapatkan bahan baku yang tidak bisa dihasilkan di Indonesia dengan tujuan mendorong manufaktur dan ekspor.
Tapi, ketika tingkat impor lebih tinggi, ada indikasi bahwa produk dalam negeri sudah tersubstitusikan oleh barang-barang luar negeri. Apabila dibiarkan terus menerus, produk lokal akan semakin tergerus, baik untuk bahan baku, penolong ataupun produk jadi.
Tugas utama pemerintah saat ini adalah meningkatkan investasi, terutama dari luar negeri. Dengan menurunnya PMA, Andry menjelaskan, berarti insentif yang diberikan pemerintah selama ini masih kurang efektif atau kurang tepat sasaran. "Misal, tax holiday, masih terlalu panjang birokrasinya dan belum ada pengaruh efektif," ucapnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekspor pada kuartal III 2018 sebesar 7,52 persen (yoy) atau melambat jika dibandingkan pertumbuhan ekspor kuartal III 2017 yang sebesar 17,01 persen (yoy). Sementara, pertumbuhan impor pada kuartal III 2018 sebesar 14,06 persen (yoy) atau melambat jika dibandingkan pertumbuhan impor kuartal III 2017 yang sebesar 15,46 persen.
Atas data tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, kinerja ekspor Indonesia masih belum sesuai dengan harapan pemerintah. Menurut Darmin, salah satu penyebabnya adalah kondisi perekonomian global yang sedang bergejolak.