EKBIS.CO, JAKARTA – Saat ini PT Merpati Nusantara Airlines sudah memiliki investor yang akan menyuntikan dana segar senilai Rp 6,4 triliun. Hanya saja, sebelum beroperasi kembali, Merpati harus membayar utang terlebih dahulu.
Mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu mengungkapkan meski jumlah dana segar itu masih kurang dari total utang Merpati senilai Rp 10,7 triliun, hal itu bukan menjadi masalah utama. “Nggak masalah (baru Rp 6,4 triliun). Utang yang masalah itu utang mandatory,” kata Said kepada wartawan, Jumat (16/11).
Dia menjelaskan, utang mandatory tersebut yaitu utang yang harus dibayar baru bisa kembali terbang. Kalau hanya utang korporasi, kata Said, hal tersebut bisa dibayarkan nanti setelah restrukturisasi keuangan.
“Utang mandatory itu utang pajak, utang izin, dan utang kepada negara,” tutur Said.
Untuk itu, Said menilai meski saat ini homologasi Merpati sudah dikabulkan namun untuk kembali terbang masih banyak proses yang harus dilakukan. Untuk itu, langkah pertama yang perlu dilakukan setelah putusan homologasi dikabulkan yaitu penyelesaian kewajiban pembayaran utang mandatory.
Terlebih, ketika Merpati tidak beroperasi masih ada status karyawan yang menggantung. “Status karyawan bisa ada, bisa tidak ada. Tapi pasti ada, tapi gaji tertunda,” ujar Said.
Saat ini meski homologasi, sudah didapatkan Kementerian BUMN masih mempelajari hasil putusan homologasi Merpati. Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius K Ro mengatakan saat ini belum ada rencana pertemuan dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pascaputusan homologasi Merpati. “Kita pelajari dulu putusannya. Jadi detil dari homogasi itu seperti apa,” kata Aloy di Gedung Kementerian BUMN, Kamis (15/11).
Untuk itu, Aloy menegaskan belum bisa menentukan status Maskapai Merpati harus diberikan kepada swasta atau masih menjadi BUMN. Jika nantinya ada persetujuan untuk memprivatisasi atau merubah status Maskapai Merpati menjadi swasta maka akan dikonsultasikan kepada Kemenkeu terlebih dahulu.
“Pertama kita pelajari dulu putusannya seperti apa. Kalau itu masuk kategori privatisasi kita lakukan itu. Biaya salinan itu seminggu dua minggu,” ujar Aloy.