EKBIS.CO, JAKARTA – Gig economy menjadi model bisnis baru yang mulai dilirik di Indonesia. Kehadiran gig economy ini seiring dengan hadirnya industri 4.0 yang menekankan efisiensi dan efektivitas melalui kehadiran teknologi.
Istilah gig economy masih terbilang sangat baru bagi masyarakat Indonesia. Ini merujuk pada istilah maraknya pekerja freelance, atau staf yang direkrut untuk proyek-proyek jangka pendek, atau pada saat dibutuhkan saja atau biasa disebut on-demand worker alias buruh siap kerja.
Hal ini berkaitan dengan semakin besarnya tuntutan pekerjaan yang memaksa perusahaan untuk memiliki sumber daya manusia (SDM) andal dan profesional sesuai bidangnya.
Gig economy tidak menjadi hal baru bagi negara-negara maju di era industri 4.0 ini. Namun di beberapa negara berkembang seperti Indonesia, gig economy sedang mengalami pertumbuhan yang signifikan sehingga perusahaan besar mulai melihat sisi lain dari para gig workers.
Mengacu pada data Bloomberg, dari 127 juta masyarakat Indonesia yang bekerja, sepertiga dari mereka masuk pada kategori pekerja lepas yang bekerja kurang dari 35 jam per minggunya. Dari sepertiga angka tersebut, lebih dari 30 juta masyarakat Indonesia bekerja paruh waktu.
Melihat perkembangan ini, banyak platform mobile di Indonesia yang bergerak dalam bisnis penyedia jasa on-demand workers bagi perusahaan yang membutuhkan. Dalam setahun terakhir saja, jasa platform mobile ini menunjukkan peningkatan sebesar 26 persen dalam hal permintaan jasa on-demand worker.
Menurut Managing Director Amar Bank dan perusahaan fintech Tunaiku, Vishal Tulsian, peningkatan ini terjadi disebabkan oleh faktor efisiensi biaya rekrutmen serta ide-ide baru yang lebih segar yang dihadirkan oleh para gig workers.
"Beberapa perusahaan yang bergerak di industri kreatif memang akan lebih efisien dan efektif jika menggunakan pekerja lepas, selain karena kontrak yang tidak terikat, perusahaan juga bisa mendapatkan pekerja profesional yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan perusahaan saat itu," jelas Vishal, Jumat (16/11).
Meski begitu, Vishal masih melihat banyak kekurangan dari pengaruh tren gig economy ini. Sebab, jika melihat dari banyaknya pekerja yang memilih bekerja secara lepas, akan meningkatkan angka pengangguran serta penurunan daya beli per orangnya.
"Jika hal ini terus berlangsung, perekonomian Indonesia akan menjadi stagnan dan tidak berkembang ke arah perekonomian inklusif," kata Vishal.
Selain itu, besarnya minat para milenial yang lebih memilih bekerja sebagai gig workers karena jam kerja yang fleksibel, menyebabkan perputaran karyawan yang tinggi di perusahaan. Tingginya perputaran karyawan dapat menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Sebut saja bahwa perusahaan sudah mengedukasi pekerja sesuai dengan visi, misi dan budaya dari perusahaan tersebut, namun justru pekerja milenial lebih memilih pekerjaan lepas demi mengejar kenyamanan bekerja.
"Hal ini juga memberikan sentuhan baru bagi perusahaan untuk dapat menyelaraskan misi dan visi perusahaan terhadap tren gaya bekerja yang sedang terjadi saat ini,” lanjut Vishal.
Tidak hanya itu saja, sektor SDM juga melihat tren gig economy ini memberikan pergeseran gaya bekerja di masa mendatang. Menurut Country Manager JobStreet.com Indonesia, Faridah Lim, tren pekerja lepas di Indonesia tidak terlepas dari digitalisasi dan automisasi yang terjadi di era industri 4.0.
"Perusahaan kini cenderung melakukan efisiensi besar-besaran, terlebih lagi cara kerja millenials menyambut baik hal ini, dengan pekerjaan yang dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Namun, dengan semakin terbuka lebarnya kesempatan kerja, para pekerja Indonesia juga harus meningkatkan skill nya agar dapat bersaing di era yang semakin kompetitif ini," ujar Faridah.
Dengan era industri 4.0 saat ini, tren gig economy akan memberikan banyak perubahan pada gaya bekerja setiap masyarakat. Pemerintah diharapkan mampu merealisasikan peraturan-peraturan yang bersifat suportif, baik untuk melindungi hak-hak para pekerja lepas serta melindungi hak perusahaan demi meningkatkan produktivitasnya.
Melalui peraturan-peraturan ini, baik pekerja lepas maupun perusahaan akan terus mendukung pertumbuhan perekonomian inklusif di Indonesia.