EKBIS.CO, BOGOR--Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) mendorong adanya kemitraan strategis dengan berbagai pihak terkait pemenuhan susu dalam negeri. Namun pola kemitraan harus tepat agar mampu mewujudkan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Deputi Bidang Restrukturisasi Usaha Kemenkop UKM Abdul Kadir Damanik mengatakan, susu merupakan komoditas pangan penting bagi pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat Indonesia. Namun, konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah, di bawah 20 persen sebagai batas ideal yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
"Kebutuhan susu nasional yang masih rendah ini pun belum mampu dipenuhi oleh industri peternakan sapi perah. Persoalannya sangat beragam mulai dari produktivitas susu sapi rendah, pemilihan sapi perah di bawah skala ekonomis, serta neraca susu nasional yang tidak berimbang," katanya dalam Focus Group Discussion bertajuk 'Membangun Kemitraan Strategis Bagi Para Pelaku Industri Persusuan Nasional Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Bersama' di Bogor, Rabu (21/11).
Tingkat konsumsi susu nasional sekitar 16,62 kg per kapita per tahun. Angka ini termasuk terendah di Asia Pasifik, jauh di bawah negara ASEAN lainnya. Angka konsumsi susu di Malaysia mencapai 36,2 kg per kapita per tahun, Myanmar 26,7 kg per kapita per tahun, Thailand 22,2 kg per kapita per tahun atau Filipina 17,8 kg per kapita per tahun.
"Jadi diharapkan dari diskusi ini didapatkan pola kemitraan yang tepat antar pelaku usaha di bidang persusuan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan peternak dan menjadi solusi atas persoalan persusuan Indonesia," ujarnya.
Damanik menegaskan, kemitraan dengan industri merupakan pintu masuk bagi peternak dalam negeri untuk menuju modernisasi cara beternak. Dengan adanya program kemitraan antara IPS dengan koperasi atau kelompok peternak ini diharapkan dapat meningkatkan semangat wirausaha peternak.
Semangat ini yang pada gilirannya dapat mendorong produktivitas susu di dalam negeri, meningkatkan kesejahteraan peternak, terpenuhi bahan baku industri pengolahan susu dan konsumsi susu segar serta dapat menjamin standarisasi susu sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI).
Saat ini, karena ketersediaan Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) masih rendah, maka dari 60 lebih IPS hanya 14 perusahaan yang baru menyerap SSDN, baik melalui integrasi pabrik dengan peternakan mandiri atau melakukan kemitraan dengan koperasi dan atau peternak.
Ia menambahkan, Kemenkop UKM sebenarnya sudah melakukan terobosan terkait peningkatan produksi susu lokal. Salah satunya dengan menjadikan Koperasi Serba Usaha (KSU) Karya Nugraha Jaya (KNJ), yang berlokasi di wilayah Desa Cipari, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat sebagai role model.
Koperasi ini mampu memproduksi susu hingga 35 ribu liter per hari yang 90 persennya diserap industri susu besar atau Industri Pengolahan Susu (IPS). Sisanya, diserap eceran oleh industri kecil olahan makanan dan minuman yang ada di wilayah Cigugur.
"Ini dalam //on progress//, tapi kita mau tingkatkan skala produksinya, mau kita perbesar. Nah, untuk mewujudkan hal ini juga harus ada kemitraan karena pastinya butuh bibit sapi, butuh lahan pengembangan sapi, butuh pakan, juga bagaimana mengolah kotoran sapi," kata dia.
Ketua Dewan Persusuan Nasional Teguh Boediyana mengatakan, kondisi koperasi yang bergerak di sektor usaha pengolahan susu sapi memasuki masa suram dan stagnan.
Dari total jumlah koperasi susu di wilayah Pulau Jawa sebanyak 96 koperasi, kini hanya tinggal 57 koperasi susu saja (15 di Jawa Barat, 14 di Jawa Tengah, 28 di Jawa Timur). Angka ini jauh menurun dibandingkan tahun 1990-an yang mencapai lebih dari 230 unit koperasi.
"Kemampuan produksi susu segar dalam negeri diprediksi hanya mampu memenuhi sepuluh persen dari kebutuhan nasional. Kalau ini tidak segera diatasi impor kita akan semakin besar bisa sampai 90 persen," ujarnya.
Teguh mengatakan, pemerintah perlu mendorong IPS agar mau memanfaatkan produksi susu segar dalam negeri. Salah satunya melalui kemitraan dengan peternak sapi perah lokal. Kalau perlu, IPS dalam menyerap susu harus dipaksa agar mau bermitra.
Menurutnya, rendahnya produksi susu peternak lokal akibat tidak adanya kewajiban industri untuk menyerap produksi susu lokal. Kondisi ini yang menjadi penyebab kemunduran sektor peternakan sapi perah di Indonesia.
Dulu, saat masa Orde Baru, ia melanjutkan, pemerintah Indonesia mewajibkan industri pengolahan susu menyerap produksi peternak sapi perah lokal. Kewajiban inilah yang membuat bisnis persusuan di Indonesia kala itu bergairah.
"Produksi peternak sapi lokal bahkan mampu memenuhi hingga 50 persen kebutuhan susu nasional," kata Teguh.