EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Pertanian berkomitmen mengupayakan peternakan sapi perah untuk produksi berkelanjutan. Kementan bekerja sama dengan Danish Veterinary Food and Administration (DVFA) dalam kerangka kerja sama Strategic Sector Cooperation (SSC) Indonesia-Denmark.
"Susu merupakan salah satu sumber protein hewani dengan kandungan gizi yang tinggi untuk kebutuhan manusia dan keberadaannya strategis untuk menghasilkan SDM berkualitas untuk pembangunan nasional. Maka perlu disiapkan produksi secara berkelanjutan," ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Makmun.
Ia menambahkan, kandungan makronutrien dan mikronutrien yang lengkap pada susu juga berpengaruh sangat vital pada masa pertumbuhan, menunjang kesehatan dan kecerdasan, serta mampu berperan dalam pencegahan stunting pada anak.
Secara nasional, jumlah populasi sapi perah relatif stagnan, untuk tahun 2020 berjumlah 584.582 ekor dengan produksi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) sebanyak 997 ribu ton. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia tahun 2020 juga masih berkisar 16,27 kg per kapita/tahun, masih lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Vietnam yang mencapai 20 kg/kapita/thn atau Malaysia sekitar 50 kg/ kapita/tahun.
Sedangkan kebutuhan susu di Indonesia saat ini mencapai 4,3 juta ton per tahun dan kontribusi susu dalam negeri terhadap kebutuhan susu nasional baru sekitar 22,7 persen, sisanya masih dipenuhi dari impor.
"Nah ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku impor ini merupakan suatu tantangan sekaligus peluang yang besar khususnya untuk pengembangan produksi susu segar dalam negeri," jelas Makmun.
Makmun mengatakan, program produksi susu keberlanjutan ini sejalan dengan Blue Print Persusuan Indonesia Tahun 2013-2025 yang dikeluarkan oleh Kemenko Perekonomian. Harapannya, pada tahun 2025, target pemenuhan kebutuhan susu nasional dari susu segar dalam negeri sebesar 60 persen.
"Tujuannya agar membuat produktivitas sapi perah 20 liter/hari, konsumsi susu meningkat menjadi 30 liter/kapita/tahun dan populasi sapi perah menjadi 1,8 juta ekor," imbuhnya.
Ia menjabarkan, langkah yang telah dilakukan pemerintah untuk pengembangan persusuan dari hulu-hilir antara lain dengan peningkatan populasi melalui program Sikomandan/Upsus SIWAB. Kemudian, pemasukan sapi perah (heifer) dan rearing atau pemeliharaan pedet, serta pemberian insentif investasi berupa tax allowance.
Selain itu, pemerintah juga telah berupaya meningkatkan produktivitas melalui perbaikan genetik, mengembangkan jenis sapi perah baru, pendampingan penerapan Good Farming Practices (GFP), perbaikan kualitas dan kuantitas pakan. Sedangkan, perbaikan kualitas susu segar dan penjaminan keamanan produk dilakukan melalui pendampingan dan bimtek penerapan Good Farming Practices (GFP), Good Handling Practices (GHP) dan Good Manufacturing Practices (GMP).
"Kami juga telah memfasilitasi sarana prasarana peternakan berbasis sumber daya lokal. Serta melakukan perluasan pasar dengan promosi lewat akses pemasaran digital," tambahnya.
Makmun memaparkan, sejatinya pengembangan peternakan sapi perah perlu dilakukan secara terintegrasi dari hulu hingga hilir untuk menjamin keberlanjutan usaha peternakan. Salah satu upaya di hilir adalah pengolahan limbah peternakan sapi perah menjadi biogas dan pupuk organik.
Dengan pengolahan limbah peternakan, selain berkontribusi terhadap mitigasi pencemaran lingkungan dan efek gas rumah kaca, juga dapat meningkatkan pendapatan peternak. "Jadi peternak sapi perah selain menjual susu segar, mengolah susu menjadi produk olahan, juga dapat menjual pupuk organik dari limbah ternaknya," ucap dia.