EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Karantina Pertanian akan meningkatkan sanksi bagi pelanggar mulai tahun depan. Namun, jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkarantinaan selesai digodog dan diterapkan.
Kepala Badan Karantina Pertanian Banun Harpini mengatakan, payung penegakan hukum di karantina saat ini dianggap masih kurang. "Sanksinya masih terlalu lunak," katanya, Jumat (30/11).
Ia menjelaskan, berdasarkan UU yang berlaku saat ini maksimum hukuman tiga tahun untuk pidana dengan denda Rp 150 juta. Namun dalam RUU menerapkan hukuman tujuh tahun penjara dengan denda Rp 5 miliar.
Sanksi tersebut merupakan kasus yang menyangkut pelanggaran perundangan karantina dan merupakan ranah pidana. RUU Perkarantinaan tersebut mulai dicetuskan sejak 2016.
"Katanya sih mau akan dibahas kembali pertengahan Desember," ujarnya. Ia berharap, tahun depan RUU tersebut bisa diselesaikan.
Jumlah kasus sejak 2015 hingga tahun ini diakui Banun belum menunjukkan adanya perbaikan kepatuhan dari para mitra kerja karantina. Jumlah kasus pada 2015 mencapai 25 kasus, 42 kasus pada 2016, 20 kasus pada 2017 dan 37 kasus pada 2018.
"Empat tahun ke belakang paling banyak bawang merah, bawang putih lalu satwa, burung. Itu luar biasa," kata dia.
Bahkan Indonesia menjadi tempat untuk menampung satwa-satwa ilegal. Selama tahun ini saja terjadi 247 tangkapan dan 6.256 ekor burung.
Ada kerugian cukup besar yang dialami akibat kecurangan tersebut. Serangan penyakit bawang putih dari pemasukan bawang ilegal yang mengakibatkan penyakit bawang putih mencapai Rp 50,4 triliun untuk luas lahan 240 hektare. Kerugian akibat virus flu burung mencapai Rp 4,1 triliun selama tiga tahun.
"Ini harus menjadi warning kita semua," tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut Banun menyampikan, karantina pertanian telah membuat grand design menuju karantina berkelas dunia. Salah satunya adalah menerapkan sistem manajemen pre border dimana perlindungan sumberdaya hayati tidak hanya dilakukan saat produk impor masuk ke dalam saja tetapi sebelum produk tersebut dikirim ke Indonesia terlebih dahulu dilakukan proses registrasi, audit kebun ataupun establishment untuk produk hewan di negara asal.
"Karantina Indonesia dalam SPS agreement tidak hanya diminta untuk mempercepat arus perdagangan tetapi juga menjaga produk yang di lalu lintaskan sehat dan aman untuk dikonsumsi," kata dia.
Ia menjelaskan, sistem manajeman preborder juga diterapkan untuk ekspor yaitu dengan cara mendatangi tempat produksi dan juga memperkuat sistem registrasi untuk menjamin tempat produksi tersebut sehat dan aman di negara yang akan menjadi tujuan ekspor produk Indonesia.