EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai suasana pertemuan tingkat tinggi G-20 di Buenos Aires, Argentina berbeda dengan 10 tahun silam, ketika pertemuan tingkat tinggi G-20 pertama kali diadakan pada 2008. Rasa kebersamaan 10 tahun lalu terasa menguap.
"Kekompakan, kebersamaan dan kesepakatan bersama sepuluh tahun yang lalu seperti menguap," kata Sri Mulyani dalam laman media sosial resmi yang dipantau di Jakarta, Ahad (2/12).
Sri Mulyani menceritakan kondisi perekonomian global saat ini ditandai oleh pemulihan ekonomi yang masih belum merata serta kebijakan ekonomi antara negara yang makin tidak sinkron dan tak searah.
Ketegangan tersebut diperparah oleh kebijakan konfrontasi perdagangan, normalisasi kebijakan moneter dan kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) yang tidak disukai oleh Presiden AS Donald Trump.
Baca juga, Ribuan Demonstran Warnai KTT G20.
Kondisi ini menimbulkan arus modal keluar dan gejolak nilai tukar di negara berkembang, harga komoditas terutama minyak bumi yang naik turun dan persaingan kebijakan pajak yang berlomba saling menurunkan.
Padahal ketika pertemuan tingkat tinggi G20 pertama kali dilakukan pada 2008 di Washington DC, AS, semua pemimpin dunia sepakat untuk menyelamatkan ekonomi global dari krisis dan kehancuran.
Upaya penyelamatan tersebut melalui kolaborasi kebijakan moneter maupun fiskal dan mendorong sektor riil untuk mengembalikan stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Fokus lain yang juga sangat penting waktu itu adalah melakukan reformasi regulasi serta kebijakan sektor perbankan dan keuangan untuk menghindarkan krisis keuangan kembali terjadi.
"Semua pemimpin negara G-20 kompak sepakat menyelamatkan ekonomi dunia dengan kebijakan ekonomi satu arah dan saling mendukung, karena mereka percaya bahwa ekonomi global harus dijaga bersama," ujarnya.
Menurut Sri Mulyani, Indonesia ikut terlibat melakukan berbagai langkah strategis di bidang perbankan dan kebijakan fiskal yang suportif untuk menyelamatkan ekonomi agar tak terkena imbas negatif keguncangan ekonomi global pada 2008.
"Indonesia dapat melalui dengan selamat dan termasuk dalam kategori sebagian kecil dari negara 'emerging' yang masih memiliki pertumbuhan relatif tinggi dan stabilitas sektor keuangan tetap terjaga," tambah Sri Mulyani.
Kemajuan penting lainnya adalah kerja sama perpajakan antara negara untuk memerangi penghindaran pajak melalui Base Erosion Profit Shifting (BEPS) dan Automatic Exchange of Information (AEOI) serta perpajakan ekonomi digital.
Indonesia memanfaatkan kerja sama itu untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan meningkatkan basis pajak terutama pada kelompok sangat kaya yang selama ini mudah memanfaatkan tax haven dan kelonggaran regulasi antar negara.
Meski demikian, tantangan maupun risiko lainnya yang masih melingkupi adalah lonjakan utang di berbagai negara maju dan negara berkembang. Selain itub juga kenaikan utang korporasi swasta yang menimbulkan beban dan risiko ekonomi yang nyata.
"Indonesia memiliki tingkat dan rasio utang yang rendah dan terjaga. Kita harus terus menjaga kehati-hatian dalam kebijakan fiskal dan memperdalam sektor keuangan untuk menjaga stabilitas dan menghindari gejolak global," kata Sri Mulyani.