EKBIS.CO, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan tidak dapat membatasi besaran bunga yang dikenakan kepada nasaban fintech peer to peer (p2p) lending. Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan, bunga merupakan kesepakatan perdata antara lender (pemberi pinjaman), borrower (peminjam) dan perusahaan fintech lending terkait. OJK tidak bersangkutan di dalam perjanjian tersebut.
Hendrikus mengatakan, apabila seluruh pihak sudah saling sepakat, berarti ada kesepakatan perdata yang harus dipenuhi satu sama lain. "Itu sudah menjadi undang-undangnya sendiri. Setara dengan undang-undang OJK dan undang-undang BI (Bank Indonesia)," ujar dia, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (12/12).
Hendrikus menjelaskan, OJK sudah mendorong Asosiasi Fintech Perdanaan Bersama Indonesia (AFPI) untuk mengatur ketentuan bunga kepada para anggota. Fintech lending terdaftar yang memberikan pinjaman tanpa jaminan. Bunganya maksimal 0,8 persen hari. Batasan tersebut terdiri dari bunga, biaya transfer antar bank, biaya verifikasi dan lainnya.
BI: Fintech Syariah untuk Inklusi Finansial
Hendrikus menambahkan, pihak perusahaan hanya boleh melakukan penagihan hingga 90 hari dengan maksimal bunga hanya 100 persen dari pokok. Misal, seorang peminjam berutang Rp 1 juta. Apabila ia tidak dapat membayar hingga 90 hari, maksimal nominal yang dibayar adalah Rp 2 juta.
"Dia lantas masuk database peminjam berkarakter buruk," ujarnya.
Ketua Satgas Waspada Investasi OJK Tongam Lumban Tobing mengatakan, masyarakat harus benar-benar memahami risiko, kewajiban dan biaya saat berinteraksi dengan P2P lending. Ini dilakukan untuk menghindari dari hal-hal yang dapat merugikan.
Meski P2P merupakan bentuk alternatif pendanaan yang mempermudah akses keuangan masyarakat, ada kewajiban di kemudian hari, yakni pengembalian pokok dan bunga utang secara tepat waktu.
Tongam menjelaskan, saat ini, permasalahan fintech lending di Indonesia tidak hanya berasal dari perusahaan ilegal. Masyarakat kerap kali terbelit masalah karena meminjam bukan untuk hal yang produktif, melainkan gaya hidup. "Dengan begitu, mereka sulit untuk membayar sesuai janji," tuturnya.