EKBIS.CO, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menilai, Indonesia perlu melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produktivitas para pekerjanya. Hal ini penting untuk bisa menjadikan Indonesia kompetitif dan memiliki daya saing tinggi dalam berbagai bidang dan sukses dalam program Indonesia 2045.
Berdasarkan data Asian Productivity Organization pada 2015, Indonesia berada di urutan ke-4 dalam hal produktivitas tenaga kerja, di bawah Thailand, Malaysia dan Singapura. Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja juga terbilang stagnan yaitu di angka 3,5 persen selama 2000-2015 atau setelah krisis ekonomi 1997/1998.
Padahal sebelum krisis tersebut, pertumbuhan produktivitas bisa mencapai rata-rata 6,4 persen (periode 1990-1995). Ilman menuturkan, negara tetangga lainnya seperti Vietnam sudah bersiap menyusul dengan terus mendorong peningkatan produktivitas tenaga kerjanya yang pada periode sama telah mencapai pertumbuhan rata-rata sebesar 4,5 persen.
"Dalam mendorong pertumbuhan produktivitas tenaga kerja tersebut, Indonesia perlu meningkatkan kesiapan tenaga kerja, salah satunya agar lebih melek teknologi dan mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi," kata Ilman dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (14/12).
Ilman menambahkan, studi World Economic Forum 2017/2018 menemukan bahwa Indonesia masih tertinggal jauh dalam kesiapan teknologi (peringkat 80) dan juga perangkat hukum ketenagakerjaan yang masih kaku (peringkat 90). Dua hal ini didorong oleh beberapa faktor, termasuk penentuan gaji yang tidak fleksibel.
Oleh karena itu, perlu adanya instrumen hukum yang lebih memotivasi adanya kerjasama antar institusi pendidikan, pemerintahan dan industri. Tujuannya, agar menghasilkan pekerja yang memiliki kualifikasi yang dibutuhkan industri dan siap beradaptasi dengan teknologi.
Selain itu, Ilman mengatakan, Balai Latihan Kerja yang sudah dan akan dibangun perlu dilengkapi dengan fasilitas teknologi yang up-to-date. "Hal ini juga termasuk pada pusat BLK yang dicanangkan untuk pekerja migran," katanya.
Melalui implementasi hal tersebut, Ilman menilai, pekerja dalam negeri diharapkan dapat mencapai produktivitas yang lebih tinggi. Dengan begitu, perekonomian dapat terdongkrak yang disokong oleh penanaman modal asing langsung.
Selain itu, dengan keterampilan kerja yang semakin tinggi, diharapkan juga pekerja migran mampu memberikan kontribusi perekonomian lebih tinggi. "Selama ini, pekerja migran mendorong perekonomian melalui sumbangan cadangan devisa," ujar Ilman.
Ilman mengatakan, sudah saatnya pekerja Indonesia yang dikirimkan ke luar negeri tidak hanya mereka yang tergolong memiliki keterampilan rendah. Sebab, kontribusi ekonomi yang mereka sumbangkan tidak mampu mendorong kesejahteraan mereka. Diharapkan, pekerja Indonesia dengan keterampilan di atas rata-rata mampu meningkatkan kesejahteraannya.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menginginkan, potensi pendapatan industri digital yang diproyeksi mencapai 150 miliar dolar AS pada 2025 dapat difokuskan pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam negeri. Sebab, perkembangan teknologi akan terus terjadi, khususnya di bidang internet of things (IoT).
Airlangga menuturkan, dari 150 juta dolar AS, dapat diciptakan tenaga kerja sebanyak 17 juta orang. Dari total tersebut, 4,5 juta di antaranya merupakan talenta yang bergerak di sektor manufaktur. "Sedangkan, sisanya, di services industri," tuturnya ketika memberikan sambutan dalam acara Semarak Festival IKM di Jakarta, Kamis (13/12).
Dengan potensi yang besar itu, Airlangga mengajak talenta nasional untuk terus mengembangkan industri berbasis digital guna menghadapi revolusi industri 4.0. Khususnya, melalui pembentukan start up atau perusahaan rintisan yang menggunakan unsur IoT. Sebab, ia meyakini, IoT akan terus tumbuh seiring dengan kebutuhan masyarakat terhadap aktivitas yang memudahkan.